Ratusan Massa yang tergabung Keluarga Serikat Pekerja Se Jawa Barat melakukan Aksi di Depan Gedung PTUN Kota Bandung. (Poto:Jo)

BANDUNG, PASUNDANEWS – Puluhan serikat pekerja di Jawa Barat yang tergabung dalam Keluarga Besar KSPSI Provinsi Jawa Barat dan SP/SB Provinsi Jawa Barat tetap menolak pengesahan RUU Omnibus Law yang sempat tertunda.

Penolakan tersebut dilaksanakan dengan cara aksi besar-besaran di depan gedung Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kota Bandung dan Kantor Gubernur Jawa Barat, Selasa (28/7/2020).

Aksi serikat pekerja di Jawa Barat menuntut lima hal diantara: menolak Gugatan Pembatalan SK UMK Tahun 2020 yang diajukan oleh Apindo Jawa Barat. Cabut huruf D Diktum Ketujuh SK UMK Tahun 2020. Menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Meminta untuk segera diterbitkan SK UMSK Kab/Kota Tahun 2020 dan menolak UU Tapera.

Dalam Orasinya Ketua KSPSI Jawa Barat Roy Jinto Ferianto menyampaikan bahwa SK UMK Tahun 2020 yang diterbitkan Gubernur Jawa Barat telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dimana diwajibkan untuk menetapkan upah minimum pasal 88 ayat (4) dan pasal 89 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, produk hukum Pemerintah Daerah dalam membuat Penetapan yaitu melalui Pergub dan SK.

“Keinginan APINDO Jawa Barat kembali ke Surat Edaran (SE) tidak mempunyai landasan hukum dan bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku disamping itu gugatan APINDO Jawa Barat tersebut mencerminkan Upah Murah,” kata Roy, dalam aksinya di Kantor PTUN”. Jelas Roy Jinto.

Ia menambahkan alasan tetap menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja karena Omnibus Law tidak lain untuk kepentingan kaum pemodal saja. Dengan begitu mengorbankan pekerja/buruh, dan memiliki tujuan bukan untuk mensejaterahkan buruh akan tetapi akan memiskinkan kaum buruh secara sistimatis dengan mendegradasi hak-hak buruh untuk kepentingan pengusaha.

“Aturan ini menyerahkan persoalan hubungan industrial hak dan kewajiban buruh dan pengusaha kepada mekanisme pasar (liberal), menghilangkan tanggung jawab negara kepada rakyatnya dalam memberikan perlindungan, penghidupan yang layak, penghasilan yang layak, dan RUU ini juga memberikan setralisasi kekuasaan kepada Pemerintah Pusat yang pada akhirnya menghapus kewenangan otonomi daerah serta menghilangkan kepastian pekerjaan, kepastian penghasilan dan kepastian jaminan sosial bagi pekerja/buruh beberapa hak-hak fundamental buruh yang di hapus/dihilangkan”. Tegas Roy.

Kemudian Roy mengungkapkan slasan Penokan UU Tapera, karena UU ini sangat memberatkan kaum pekerja/buruh dengan beban iuran 2,5% dari upah buruh dan beban pengusaha hanya 0,5%, disamping itu selama ini untuk perumahan buruh telah dicover dalam program B.P. Jamsostek melalui Pinjaman Uang Muka Perumahan (PUMP) yang selama ini sudah berjalan bahkan ada program pinjaman renovasi rumah bagi buruh di program B.P. Jamsostek yang mana buruh tidak dipotong iuran perumahan oleh B. P. Jamsostek.

“Dalam UU Tapera setiap pekerja/buruh upahnya wajib dipotong iuran 2,5% sedangkan program perumahaan hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang belum punya rumah, sedangkan buruh yang sudah punya rumah program perumahan tidak berlaku tetapi iuran wajib dipotong 2,5% sehingga tidak semua buruh dapat menikamati programnya, pemerintah hanya mengumpulkan uang buruh yang dikelola oleh Badan Pengelola Tapera,” Tutupnya. (Jo/Pasundanews).