Oleh Silvia Pauzia (Presma STIE PASIM Sukabumi)

Kekerasan seksual kini kian marak terjadi di berbagai penjuru negeri. Tiap taun nya kasus ini terjadi pada anak-anak, perempuan ataupun laki-laki yang belum juga mengalami penurunan kasus, bahkan setiap tahun nya korban semakin bertambah banyak. Hal ini menyebabkan kesulitan seluruh masyarakat bahkan untuk keberlangsungan hidup bagi para penyitas. Seseorang yang mengalami kekerasan seksual tak kunjung menemukan keadilan di negara ini, juga tak kunjung menjadi kekhawatiran negara.

Menurut badan kesehatan dunia, World Health Organization atau WHO, kekerasan seksual dapat diartikan sebagai segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa mendapatkan persetujuan, dan memiliki unsur paksaan atau ancaman. Pelaku kekerasan seksual tidak terbatas oleh gender dan hubungan dengan korban. Artinya, kasus ini sama sekali tidak melihat siapapun korban nya, bisa laki-laki maupun perempuan, orang tua maupun anak-anak.

Pada tahun 2017 RUU PKS ini resmi diperkenalkan ke DPR RI. Dengan diperkenalkan nya RUU PKS ini juga menjadi kabar gembira bagi masyarakat karena korban penyitas akan segera mendapatkan keadilan dan melihat kasus kekerasan seksual yang terus meningkat setiap tahun mungkin akan menurun dengan adanya hukum yang melindungi. Lalu RUU PKS ini mulai masuk komisi VIII pada tahun 2018 sehingga mulai dibahas di tahun 2019. Namun, hingga akhir masa priode 2014-2019, RUU PKS ini tak kunjung di sah-kan. Alih-alih 2020 masuk prolegnas dan harapan masyarakat untuk segera di sahkan terkabul. Sikap pemegang jabatan justru di luar harapan, sehingga sangat di sayangkan sikap DPR RI yang menyatakan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual gagal masuk prolegnas karena dianggap sulit untuk dibahas. Padahal yang sulit adalah tentang kesadaran yang mulia terhadap kerentanan masyarakatnya.

Mengapa RUU yang sangat berpihak pada pemasyarakatan dan juga kerentanan yang terjadi di kehidupan sosial kita justru di biarkan begitu saja. Urgensi seakan bukan soal. Berbeda dengan kebutuhan kaum elite yang begitu mudah terjun, masuk prolegnas dan bahkan cepat di sah-kan sementara kebutuhan rakyat yang rentan sama sekali tidak di tindak lanjut.

RUU penghapus kekerasan seksual ini adalah calon payung hukum yang dibutuhkan masyarakat terlebih banyaknya masyarakat yang kegerahan karena maraknya kasus kekerasan seksual ini dan maraknya kejahatan berbasis seksual yang terjadi di dalam negeri.

Menurut catatan tahunan komnas perlindungan perempuan, sepanjang tahun 2001 – 2011 terdapat 35 kasus kekerasan seksual setiap harinya. Ditahun 2019 terdapat 406.178 kasus dan angkanya naik 14% dari tahun 2018. Betapa sangat mengkhawatirkan kasus-kasus ini tanpa adanya hukum yang komprehensif dari negara sebagai perlindungan. Angka bukan sekedar angka tetapi juga menjadi kejadian yang nyata dan begitu menakutkan.

1 dari 3 perempuan di dunia menjadi korban kekerasan seksual, 1 dari 6 laki-laki juga menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Artinya, dalam kasus ini perlu payung-payung hukum yang lebih memihak pada korban.

Dalam budaya kita saat ini seseorang yang memperkosa akan selesai hanya dengan menikahkan keduanya, seakan-akan beban yang di pikul korban mau itu berupa gangguan mental atau kesehatan fisik bukanlah perkara penting. Keadaan ini masih sangat membudaya di Indonesia yang dimana justru korban mendapat perlakuan tanpa kehati-hatian dari pihak berwajib. Padahal kasus kekerasan seksual adalah hal yang sangat berbahaya, dapat memicu berbagai faktor tindak kejahatan lainnya.

Saat keadaan mulai mendesak kami berharap semoga masih ada secuil sisi kemanusiaan dari yang mulia para pemangku jabatan. Mahasiswa harus bebas dari berbagai arus kehidupan masyarakat yg kacau, tapi jangan lupakan fungsi sosial seorang mahasiswa.

Artikulli paraprakKodim 0608/Cianjur Berikan Kejutan HUT Bhayangkara, Serbu Mapolres Cianjur
Artikulli tjetërGiofedi Rauf; Reshuffle Kabinet Dalam Pemulihan Ekonomi Bangsa