(foto: Istimewa)

Membaca Spirit Ma Eroh

Peringatan International Women’s Day adalah salah satu cara sekaligus sarana kampanye dalam membangun keasadaran gender di semua kalangan, sekaligus momen untuk merefleksikan tentang bagi semua pihak dalam upayanya memperjuangkan kesetaraan gender baik dalam kontkes nilai maupun pada aspek praksis. Dalam kesempatan ini penulis mengajak pembaca untuk kembali membaca dan merenungi spirit seorang tokoh perempuan asal tanah pasundan Tasikmalaya, yang pada era tahun 80-an sempat mendapat penghargaan dari Presiden Suharto dan PBB, yaitu Mak Eroh.

Kenapa Mak Eroh? Mak Eroh tidaklah seperti Emma Watson yang seorang selebritis ternama dan berpendidikan tinggi. Mak Eroh juga bukanlah seorang aktivis kesetaraan gender yang sering melakukan advokasi hak-hak perempuan. Ia adalah seorang perempuan desa yang hanya berpendidikan sampai kelas III Sekolah Dasar. Namun karena perjuangannya ia mendapatkan penghargaan Kalpataru dari Presiden Suharto dan penghargaan bidang lingkungan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Memang ia lebih dikenal sebagai pejuang lingkungan, namun mesti diingat Ma Eroh adalah sosok perempuan, yang semangat, cita-cita dan kerja kerasnya melampaui kaum pria kala itu. Ia sosok perempuan desa yang di usianya tidak muda (antara 45-50tahunan) mampu membuat parit atau saluran air sepanjang kurang lebih 4.5 km dengan melewati area perbukitan yang terjal dan berbatu dengan kemiringan lereng sekitar 60-90 derajat, yang ia kerjakan sendirian, untuk mengairi persawahan yang mengalami kekeringan waktu itu.

Di antara nilai dan spirit yang bisa dibaca dan direnungi untuk diteladani dari sosok Mak Eroh, di antaranya adalah sebagai berikut: Pertama, semangat kemandirian. Ia adalah sosok perempuan yang tidak mau menggantungkan hidupnya pada orang lain. Ketika usulannya kepada pihak terkait untuk membuat parit tidak ditanggapi, ia tidak putus asa dan tidak menyerah. Dengan peralatan seadanya ia memulai pekerjaan tersebut, sendirian. Statusnya sebagai peremuan tak menghalangi dirinya untuk mengerjakannya sendiri apa yang diusulkannya tersebut, walaupun hal itu bukanlah pekerjaan yang ringan, dan bukan pula pekerjaan sektor domestik. Mak Eroh tidak memahami tentang teori-teori tentang kesetaraan gender, namun apa yang dilakukannya telah mendekonstruksi ruang pemikiran konservatif tentang perempuan.

Kedua, semangat optimisme. Mak Eroh mampu melakukan sesuatu yang menurut anggapan orang lain mustahil dilakukan oleh seorang perempuan. Sehingga banyak orang yang mencibirnya. Betapa tidak, membuat parit yang harus melewati area perbukitan terjal, curam dan berbatu, bukanlah pekerjaan yang ringan. Jangankan bagi seorang perempuan paruh baya seperti dirinya, bahkan dalam benak seorang pemuda pun kala itu pekerjaan tersebut belum tentu terbayangkan. Namun dengan optimismenya yang tinggi, apa yang dicita-citakannya itu dapat diwujudkan. Ia mampu menjawab keraguan banyak orang tidak dengan argumen, namun dengan tindakan nyata. Ia mampu membuktikan bahwa perempuan pun bisa melakukan sesuatu yang dilakukan bahkan tidak bisa dilakukan oleh laki-laki. Ia telah mampu melakukan perlawanan terhadap stereotype negatif tentang perempuan.

Ketiga, semangat volunterisme.  Apa yang dilakukan Ma Eroh, tidak semata demi kepentingan pribadi dan keluarganya. Tidak hanya untuk mengairi swah miliknya yang tidak seberapa luas, keresahan akan masyarakat di lingkungannya yang tidak bisa lagi mengelola sawah karena kekeringan  kala itu, membuat dirinya tergugah dan lebih termotivasi melakukan pekerjaan tersebut. Tak berharap pujian dan pamrih dari siapapun, ia melakukannya atas dasar keikhlasan. Ia tak mementingkan dirinya sendiri, tak peduli kulitnya terbakar matahari, tubuhnya menjadi terlihat berotot, bahkan beresiko kecelakaan. Semua itu ia abaikan, demi melakukan kepentingan yang lebih besar, yaitu melayani kepentingan masyarakat luas. Ia berkeyakinan walaupun ia seorang perempuan dan tidak berpendidikan tinggi, bisa berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak, dan ia mampu membuktikannya.

Masih banyak tentunya nilai dan semangat Mak Eroh lainnya yang bisa digali dan diteladani dalam refleksi momen International Women’s Day ini. Tak hanya sebagai pejuang lingkungan, beliau kiranya layak mendapat apresiasi sebagai pejuang kesetaraan. Apa yang telah diperbuatnya menjadi narasi inspiratif yang akan terus mengalir yang dapat menumbuhkan benih semangat para generasi muda, khusunya kaum perempuan untuk terus berjuang melampaui dirinya. Karena sejatinya perempuan adalah pemahat peradaban itu sendiri.  Happy International Women’s Day. Lets be #EeachforEqual.

*) Peminat kajian sosial budaya dan politik, kini sebagai ketua KPU Kota Tasikmalaya.

 

Halaman 1 2 3

1
2
3
Artikulli paraprakMahasiswa UNMA Tampilkan Karya Filmnya di Bioskop Lokal ‘Majalengka’
Artikulli tjetërPertemuan di Rumah Acep Adang, Isyarat Bersatunya Iwan Saputra-Iip Miftahul Faoz