Oleh : Paisal Anwari S.H.,M.H (Ketua Umum Tinta Inspirasi)

PASUNDANNEWS – Sudah 75 tahun Indonesia merdeka. Arti dari kemerdekaan sendiri yang saya tahu ketika masih SD adalah bebas dari jajahan Belanda dan Jepang. Seperti yang kita tahu, bahwa Belanda telah menjajah selama 350 tahun sedangkan Jepang 3,5 tahun. Belanda datang untuk menjarah kekayaan alam yang tersebar di seluruh negara kita.

Tak hanya itu, kejahatan kemanusiaan seperti penyiksaan, pemaksaan, dan pembantaian juga dilakukan oleh Jepang. Sudah tak terhitung lagi berapa banyak kekayaan alam kita yang dirampas. Berapa banyak rakyat Indonesia yang meregang nyawa ketika dipaksa bekerja tanpa upah kepada mereka. Semuanya tak terhitung dan tak bisa dibayar dengan apapun. Sekalipun sudah merdeka, nyawa mereka—pahlawan kemerdekaan Indonesia —tak bisa kembali lagi.

Sebenarnya, saya ingin mengajak pembaca untuk memikirkan bahwa arti dari kemerdekaan tidak sesempit itu. Juga cara merayakannya bukan hanya dengan upacara bendera. Luas sekali arti dari kemerdekaan itu sendiri serta bagaimana cara merayakan kemerdekaan.

Kemerdekaan sendiri kalau kita artikan secara bebas adalah suatu keadaan dimana suatu wilayah sudah terbebas dari kekuasaan jajahan negara lain. Tetapi pengertian ini dipakai ketika jaman perang. Kalau dipakai di era sekarang mungkin akan lebih luas pengertiannya. Bisa jadi, sekarang suatu negara walau secara harfiah terlihat tidak dijajah oleh negara lain, namun jika ditelisik lebih dalam, ada yang dijajah, entah kebudayaanya, teknologinya, atau pemikiran rakyatnya.

Dewasa ini, Indonesia bisa jadi dikatakan merdeka. Tetapi, kalau kita sadar, sebenarnya negara kita sedang dijajah. Bahkan penjajah tersebut berasal dari negara kita sendiri. Mereka menggadaikan kekayaan alam kita kepada pemodal dengan menyunting undang-undang. Menjual tenaga rakyat kepada para kapitalis dengan upah murah tanpa ada jaminan kesejahteraan dan jaminan kesehatan.

Kita tahu bahwa pemerintah sudah mengesahkan UU Cipta Kerja yang di cita-citakan akan membuat ekonomi Indonesia membaik tetapi kenyataannya datangnya para investor, Coba kita bedah omnibus law tersebut. Ada beberapa undang-undang yang malah menggelar karpet merah bagi investor. Tentunya ini sangat mengkhawatirkan bagi kelangsungan alam hayati negara kita. Seperti yang kita tahu, tidak sedikit perusahaan yang dibangun oleh para investor tersebut yang merusak alam.

Selain itu, banyak juga pabrik-pabrik yang mengganggu kehidupan warga sekitar akibat pengolahan limbah yang kurang baik. Hal ini disebabkan oleh peraturan dari pemerintah yang memberi izin kepada pabrik tersebut padahal belum memiliki sistem pengolahan limbah yang baik. Apalagi kalau omnibus law ini disahkan, akan lebih parah karena Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dihapuskan.

Sayangnya pemerintah sendiri menyangkal hal itu dengan mengatakan bahwa AMDAL masih ada tetapi hanya perusahaan yang disinyalir beresiko saja yang harus melakukan AMDAL, sedangkan yang resikonya rendah tidak perlu mengurus AMDAL dan hanya perlu memenuhi standar upaya pengelolaan. Tidak hanya soal kelestarian alam, omnibus law juga menjajah para buruh. Dimana upah murah masih menjadi hantu. Tidak hanya itu, jam kerja yang tidak manusiawi juga siap-siap diterima oleh para buruh jika omnibus disahkan. Semua ’hantu’ tersebut tertuang dalam RUU Ciptaker. RUU Ciptaker sendiri akan mengubah 1.244 pasal di lebih dari 79 undang-undang. Salah satunya adalah pasal 77 tentang Jam Kerja UU No. 13 tahun 2003 yang semula tujuh jam perhari diganti menjadi delapan jam perhari.

Padahal sejak dicanangkan oleh pemerintah, omnibus sudah mendapat penolakan dari berbagai elemen seperti mahasiwa, buruh, dan masyarakat yang terdampak. Namun tidak juga mendapat respon dari pemerintah. Malah setiap aksi yang dilakukan untuk menolak sahnya omnibus law, direpresi oleh aparat, banyak mahasiswa yang ditangkap tanpa alasan dan banyak juga yang dijadikan kambing hitam. Konsep sistem ketenagakerjaan dalam RUU Cilaka mirip kondisi perburuhan pada masa kolonial Hindia Belanda. Pada akhir abad ke-19, di bawah tekanan globalisasi dan perjanjian internasional, pemerintah kolonial Hindia Belanda menerbitkan aturan Koeli Ordonantie untuk menjamin pengusaha dapat mempekerjakan kuli perkebunan tembakau dengan upah sangat murah dan tanpa perlindungan. Para buruh juga diancam hukuman kerja paksa sementara pengusaha yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi denda ringan.

RUU Cilaka juga mengembalikan politik pertanahan nasional ke zaman kolonial karena semangatnya sama dengan ketentuan dalam Agrarische Wet 1870. Kedua aturan tersebut sama-sama berambisi untuk mempermudah pembukaan lahan sebanyak-banyaknya untuk investasi asing dengan merampas hak atas tanah dan ruang kelola masyarakat adat dan lokal. Formalisme hukum yang kuat dalam RUU Cilaka menghidupkan kembali semangat domein verklaring khas aturan kolonial. Masyarakat kehilangan hak partisipasi dan jalur upaya hukum untuk mempertahankan tanah yang mereka kuasai.

Terlebih, guna memuluskan RUU Cilaka, Presiden Joko Widodo meminta kepada Kejaksaan RI dan memerintahkan aparat keamanan Kepolisian Republik Indonesia serta Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mendukung dan mengantisipasi ancaman aturan ini. Penggunaan alat negara seperti ini menyerupai kerja Kepolisian kolonial Hindia Belanda yang ditugaskan memata-matai, menangkap, dan menyiksa rakyat saat itu.

Kegagalan pemerintah dalam menjalankan program dan kebijakannya tidak perlu ditutupi dengan membuat regulasi baru. Apalagi, regulasi tersebut adalah pesanan yang akan mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara baik rakyatnya maupun kelestarian lingkungannya.

Menolak Omnibus Law karena Melegitimasi investasi perusak lingkungan, mengabaikan investasi rakyat dan masyarakat adat yang lebih ramah lingkungan dan menyejahterakan.

Investasi yang digaet oleh pemerintah Indonesia sebagai solusi mengatasi defisit neraca perdagangan dan pertumbuhan ekonomi, justru merupakan investasi yang berpotensi merusak lingkungan dan tidak menyejahterakan masyarakat. Hal itu disebabkan pemerintah tidak selektif dalam menarik investasi asing yang datang sehingga investor potensial yang hadir justru adalah investor yang buruk dan paling ekstraktif, yang hanya akan memperluas eksploitasi alam dan kerusakan lingkungan.

Pemerintah tidak pernah menganggap keberadaan investasi masyarakat lokal (masyarakat adat) selama ini. Padahal jika dinominalkan masyarakat adat telah menjalankan investasi triliunan rupiah dalam bentuk ekosistem yang sehat dan berkelanjutan (hutan yang lebat dan subur, sungai yang bersih, dan pantai dan lautan yang biru dan jernih). Namun celakanya, lewat RUU Cilaka, apa yang telah diinvestasikan masyarakat adat dihancurkan bahkan dibagi-bagi melalui konsesi-konsesi ekstraktif yang hanya menguntungkan segelintir investor hitam yang dilindungi kekuasaan negara. Jangan mau kita dijajah kembali, apalagi oleh bangsa sendiri. Jangan mau dibodohi oleh para oligarki, tetap lawan dan tolak omnibus law. Jangan sampai lengah, lengah sedikit, omnibus sah. (Red)

Artikulli paraprakGenjot Minat Baca, Disarpus KBB Terus Rutin Luncurkan PIKW
Artikulli tjetërTokoh Pemuda Kampung Pojok Tasikmalaya Gagas Radio HT, Guna Membangkitkan Partisipasi Masyarakat.