Penulis : Ahmad Abdul Latif (Presiden Mahasiswa Universitas Suryakancana)

PASUNDANNEWS – Dengan sifat dan watak yang kritis, ketajaman intelektual, independensi, serta energi yang besar, mahasiswa selalu identik dengan perubahan sosial di masyarakat. Oleh karena itu sejarah mencatat, dimana mahasiswa memegang peranan penting dalam tonggak perubahan di negeri ini. Namun sosok mahasiswa yang dimahakan oleh masyarakat kini turut bingung dipersimpangan jalan. Bagaimana tidak, mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat, penyampai amanat penderitaan dan keluh kesah rakyat kini seakan terbungkam.

Pembungkaman suara yang otomatis menghentikan pergerakan mahasiswa dalam mengawal birokrasi dan penegakan hukum terus berkelanjutan diberbagai daerah hingga ke titik paling ujung Indonesia. Suara mahasiswa kini telah tersenyapkan oleh sistem yang mulai oligarki.
Salah satu Surat Edaran Kemendikbud akhir-akhir ini membungkam mahasiswa untuk tidak turun kejalan dengan sistem memberikan ketegasan Kepada Civitas dan pihak Universitas untuk melakukan pembelajaran Online dan menghimbau agar tidak ikut serta dalam aksi. Apakabar dengan undang-undang No. 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum?.
Ditengah kondisi pandemi ini, semua masyarakat mengalami kesusahan diberbagai sektor. Aalih alih kami sampaikan keluh kesa tersebut sekarang justru para mahasiswa terjebak dengan sistem yg di keluarkan oleh Kemendikbud tanggal 9 Oktober 2020 dengan ditetapkan point-point yang secara terang-terangan melakukan pembungkaman pergerakan mahasiswa yang tertera pada point 4 yang berbunyi “Menghimbau Para Mahasiswa/i Untuk Tidak Turut Serta dalam Kegiatan Demonstrasi/Unjukrasa/Penyampaian Aspirasi yang Dapat Membahayakan Keselamatan dan Kesehatan Para Mahasiswa/i di Masa Pandemi ini”.
Indonesia? Apakah statusmu masih Negara demokrasi? Ataukah karena tangan-tangan diktator yang kotor sekarang kau berubah menjadi negara otoriter?
Ini hanya tumpahan opini saya terkait dengan demokrasi yang secara terus menerus mengalami pengikisan didalam negara yang “katanya” menganut sistem demokrasi untuk kebebasan berpendapat, beragama dan lain – lain. Lantas bagaimana dengan implementasi “Tri Darma Perguruan Tinggi”. Apakah sekedar simbolik formal. Seperti pancasila yang nilai-nilainya belum direalisasikan.
Jika memang tugas mahasiswa hanya kuliah dan belajar berkutat dengan diktat, kenapa tidak dibuat saja Eka Darma Perguruan Tinggi. Mahasiswa memang manusia akademisi, tapi termasuk dalam tri darma tidak lepas dari pengabdian kepada masyarakat. Kemudian, persoalan tentang kritis itu haram. Tentunya sebagai akademisi yang beradab dan santun kita pasti paham, bahwasanya bagaimana kritik yang sesuai dengan kadarnya dan ada fakta yang bisa dipertanggungjawabkan. artinya boleh kritis tapi realistis toh, katanya demokrasi, atau berubah jadi democrazy. Ketika ada yang salah, ya harus dibenarkan, jika mahasiswa tidak pantas menyuarakan kebenaran, siapa lagi yang pantas menyuarakan.
Demokrasi itu media penyeimbang birokrasi, jika dalam birokrasi kampus saja mahasiswa dilarang mengawal dan memperbaiki, birokrasi kampus akan terus menerus semena-mena terhadap warga kampusnya. Alhasil para birokrat kampus lah yang menguasai kampus dan mengintervensi mahasiswanya agar selalu tunduk dihadapan para birokrat.
Seakan-akan mahasiswa yang kritis seringkali dikriminalisasi. Apakah kritis itu haram? Atau ada rasa takut Sesutu terungkap buah dari kekritisan para Mahasiswa? Lalu bagaimana dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme, apakah sudah dihalalkan? Coba kita tanyakan pada rumput yang bergoyang. Masuk ke point “lulus cepat lalu kerja”, saya tertawa nyinyir ketika kalimat ini terucap di mulut, di zaman neoliberal dan penuh dengan antek-antek imperialis dengan mudahnya pribumi mendapatkan pekerjaan?,  Kata siapa ?.
Kalau di zaman seperti ini mudah dapat pekerjaan, tentu tidak akan banyak “Pengangguran Bergelar Sarjana”. Bagaimana pribumi mau dapat pekerjaan layak,  nyatanya sektor hasil bumi dikuasai pihak asing. Pribumi hanya dikasih pekerjaan buruh, dengan jam kerja yang terkadang tak sesuai dengan upah yang diberikan.
Jadi, wajar makin hari makin banyak mahasiswa yang pasif seolah tidak peduli dengan organisasi baik internal maupun eksternal, tidak mau mengeluarkan argumen, hanya terfokus kuliah lalu pulang mengejar nilai akademik yang tinggi, menghambakan IPK dan pujian dosen, serta tidak mau memperjuangkan haknya sebagai mahasiswa dan rakyat sekelas tani dan buruh karena mahasiswa diharamkan menyuarakan kebenaran dan dibatasi pergerakannya di kampusnya sendiri.
Sebabnya kuantitas tidak berbanding lurus dengan power yang seharusnya bisa dimunculkan oleh kaum intelek ini. Jika kemudian muncul gebrakan segelintir mahasiswa yang telah sadar bahwa mereka ditindas secara halus, segelintir mahasiswa tersebut akan dikriminalisasi, dikenakan sanksi akademik dari tingkat kecil sampai yang besar, diculik, disembunyikan, atau bahkan bisa jadi di musnahkan.
Dari sinilah terus menerus dari civitas akademika tertinggi disektor pendidikan terus melahirkan generasi yang bermental buruh yang hanya menuruti kebijakan yang keluar walaupun itu mengintervensi mereka. Lantas bagaimana nanti kelanjutannya setelah menyelesaikan pendidikan dan terjun ke dunia masyarakat?. semoga tulisan ini dapat menjadi renungan para pemangku kebijakan di negeri ini.
Artikulli paraprakiPhone 12 Mini, Ponsel Tertipis 5G Resmi Hadir
Artikulli tjetërKorban Kebakaran Cipongkor Mengeluh, Tak Dapat Perhatian Pemerintah