foto: istimewa

Paradoks Gap of Curiosity di Jagat Digital

Maraknya judul clickbait sengaja dibuat oleh oleh penulis/pembuat konten dengan memanfaatkan rasa penasaran atau rasa ingin tahu (curiosity) yang dimiliki individu pembaca. Chakraborty, Paranjape, Kakarla, & Ganguly (2019) menyebutkan clickbait mengekspotasi sisi kognitif manusia, yakni apa yang disebut dengan curiosity gap (celah rasa keingintahuan).  Hal itu terjadi karena ada celah atau kesenjangan (gap) antara apa yang diketahui seorang individu dengan apa yang ingin diketahuinya. Kesenjangan pengetahuan tersebut memiliki konsekuensi emosional, yaitu merasakan semacam kekurangan ketika merika melihat ada celah (gap) dalam pegetahuan mereka. Dari sanalah timbul rasa penasaran dan ingin tahu, yang kemudian mendorong seseorang tersebut  untuk meng-klik atau membuka link website yang disediakan.

Menariknya meskipun sadar bahwa clickbait adalah jebakan, mereka tetap mengkliknya. Mereka menganggap judul itu menarik dan menghibur. Ironisnya, judul yang menarik tersebut seringkali tidak sesuai denan isi beritanya, dan juga tidak jarang  belum diketahui kebenarannya (Zaenudin, 2018). Lebih ironis lagi, tidak jarang di anatar kita yang kemudian membagikan (share) link berita tersebut ke berbagai WA-Grup yang ada di ponselnya, dan selanjutnya di-share lagi, dan seterusnya. Dari informasi dalam clickbait, tersebut tidak sedikit orang yang mempercayai tanpa proses verifikasi terlebih dahulu.

Fenomena tersebut, sempat dirisaukan Tom Nichols, penulis buku The death of expertise, ketika menanggapi hasil jejak pendapat yang dilaksanakan oleh The Whasington Post tahun 20114 tentang kebijakan invasi militer Amerika terhadap konflik di semenanjung Kremia, wilayah bagian Ukraina. Namun, hasilnya sangat mengejutkan  banyaknya warga Amerika yang tidak mengetahui di mana letak Negara Ukraina tersebut. Terhadap kasus tersebut, menurut Nichols menunjukkan paradoks masyarakat digital. Kelimpahruahan informasi di era free online culture ternyata tidak berbanding lurus dengan pengetahuan masyarakat tentang berbagai hal dan tidak sepenuhnya membawa masyarakat makin terbuka terhadap opsi-opsi, familier dengan perspektif, serta rasional dalam menentukan sikap dan pandangan, alih-alih justru menjerumuskan pada epidemi irasionalitas (Agus Sudibyo, 2019:264.)

Keragaman sumber informasi (diversity of information resources) dan banyaknya mesin pencari  (search engine) tidak lantas mendorong orang untuk melakukan verifikasi terhadap suatu informasi yang ia terima. Informasi diterima secara dangkal, hanya berselancar dipermukaan (surfing), tidak melakukan penyelaman (diving) secara mendalam. Nicholas Car (2011), penulis buku The Shallows: What the Internet is Doing to Our Brains mengeluhkan fenomena tersebut., “Dulu saya adalah penyelam di lautan kata-kata, kini saya bergerak cepat dipermukaannya seperti orang mengendarai jetski”.

Orang dengan mudahnya berpindah dari satu page ke page yang lain, namun sayang hal itu tidak disertai dengan tindakan analisis dan verifikasi. Menganggap apa yang tersaji adalah sebuah kebenaran. Padahal saat ini dengan bantuan  search engine dan gadget di tangan  sebenaranya kita bisa dengan mudah menemukan data dan informasi yang sangat berlimpah, yang dapat dijadikan bahan untuk melakukan verifikasi terhadap suatu informasi yang diterima, di manapun dan kapan pun.

Literasi is Key

Menghadapi fenomena semacam itu, agar kita tidak mudah terjebak dan tersesat dengan informasi-infromasi yang tidak benar, maka kuncinya adalah literasi. Kemampuan literasi informasi atau literasi media mutlak diperlukan untuk dapat menyikap suatu informasi secara cerdas dan bijak. Menurut Eko Indrajit & Djokopranoto (2006:310), seorang individu dikatakan memiliki information literacy yang baik apabila yang bersangkutan dapat melakukan investigasi terhadap informasi yang dibutuhkan dalam suatu konteks kondisi tertentu, menyatakannya dalam terminologi yang tepat, melakukan pencarian secara efektif terhadap informasi yang berkualitas dari berbagai sumber data yang tersedia, melakukan analisis berdasarkan hasil kumpulan informasi, memanfaatkannya untuk berbagai keperluan positif dan mendatangkan nilai yang signifikan, dan mengolahnya lebih lanjut menjadi sebuah sumber daya pengetahuan.

Agar tak mudah terjebak dan tersesat, jangan mudah tergoda dengan sebuah judul (khususnya yang clickbait), dan jangan pula mudah mempercayainya. Jangan hanya surfing dipermukaan. Dengan hanya berbekal judul-judul clickbait dan penggalan berita yang tidak lengkap, tidak boleh kita mudah menyimpulkan dan men-judge sesuatu. Perlu menyelam lebih dalam untuk menemukan hakikat kebenaran suatu informasi. Agar tak hanyut oleh gelombang dan arus informasi yang tak jelas, tindakan verifikasi (tabayun) dan berpikir kritis (critical thinking) mutlak diperlukan. Demikian pula dalam mempublikasikan informasi, sampaikanlah yang baik dan bermanfaat, serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.  Salam Literasi…!

<<<<< Sebelumnya

1
2
Artikulli paraprakCapai Nilai Rp15 Miliar, Pos Indonesia dan Peruri Kerja Sama Pencetakan Prangko
Artikulli tjetërPZU dan YBM PLN UID Jabar Kerjasama Bedah Rumah dan Renovasi Rumah Baca