(foto: Istimewa)

Oleh: Kaka Suminta *)

PASUNDANNEWS.COM, – Bagaimana kita menelaah kondisi sosial politik pada saat ini secara tepat untuk merumuskan rekomendasi yang dapat menuntun kita di tengah perubahan yang belum ada presedennya ini. Menghadapi pertanyaan tersebut, seolah kita tidak memiliki pegangan yang pasti, karena hampir setiap hari kita dibombardir dengan berbagai informasi dan fakta bahwa kehidupan di abad 21 ini merupakan abad yang berbeda dan seolah menjadi diskontnyuitas dari abad-abad sebelumnya.

Tetapi ketika kita membuka kembali catatan tentang apa yang terjadi di abad 19 dan 20, maka sebenarnya ada kesamaan yang esensial yang juga terjadi di masa sebelum milenium ketiga ini, namun yang mengagumkan adalah cara para pemikir di masa itu untuk menelaah dan menyikapi jamannya, salah satunya adalah apa yang dapat kita baca dari pemikiran Mulyana W Kusumah (MWK), salah satu tokoh pergerakan di balik reformasi Indonesia jelang abad 20 berakhir.

Tulisan ini sengaja mengetengahkan pemikiran MWK, khusunya yang dituangkan dalam beberapa tulisnnya, yang jika kita sarikan pemikiran itu berbicara tentang kondisi ketidak adilan struktural, yang oleh banyak kawan dan orang yang pernah bersentuhan dengan tokoh ini, merupakan inti dari pemikirannya, yang kemudian dapat menguliti semua modus ketidak adilan, yang secara kasat mata dapat dilihat dan dirasakan adalah dalam bidang ekonomi. Salah satu buah pemikiran itu dituangkan dalam sebuah buku kecil yang diterbitkan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tahun 1988, dengan judul. ‘Hukum Politik dan Perubahan Sosial’, dalam jilid buku dituliskan nama Mulyana W Kusumah dan Paul S Baut, sebagai penulis. Tulisan ini juga didedikasikan untuk 24 tahun perjalanan KIPP Indonesia yang dibidani dan dimotori MWK, KIPP Indonesia lahir pada tanggal 15 Maret tahun 1996.

Sebuah buku yang ditulis di tengah kuatnya otoritarianisme Orde Baru dan semangat militerismenya, tentu akan tidak mudah untuk menuangkan gagasan dan pikiran secara lugas saat itu. Oleh karena itu dalam kata pengantarnya, Direktur YLBHI Abdul Hakim Garuda Nusantara menyebutkan bahwa penerbitan buku ini sebagai upaya untuk memberikan acuan kepada empirisme hukum dengan basis teori yang kuat, karena empirisme saja bisa tersesat, bahkan ketika dihadapkan dengan akal sehat sekalipun. Pesan dalam prakata yang pendek ini tentu memiliki makna yang kuat bagaimana empirisme hukum di dalam sebuah rejim yang otoriter tak lebih sekadar pajangan legalisme yang menutupi praktek hukum yang menempatkan kekuasaan di atas hukum itu sendiri, pesan ini kemudian diuraikan dengan lugas namun tetap ‘selamat’ sampai ke tangan pembaca saat itu, inilah originalitas kecerdasan para aktivis pergerakan yang masih dapat kita pelajari sampai saat ini, di abad yang berbeda ini.

Benang merah dari tulisan ini berbasis pada masayarakat berkelas, sehingga dapat dengan mudah kita temukan adanya basis teori pembentukan masyarakat sosial, yang menempatan hukum dan pranata politik kekuasaan sebagai supra struktur dari sistem soial yang ada, sementara itu ranah ekonomi dipostulatkan sebagai basis infrastruktur sistem yang menopang seluruh bangunan sosial yang ada dalam sebuah masyarakat. Jika kondisi objektif ini dipahami secara luas pada masa itu dan masamasa sebelumnya, sebagiamana MWK juga mengutip beberapa pemikir di masa sebelumnya, termasuk Marx dan engel, dan kemudian menukik pada presuposisi beberapa pemikir abad 20 seperti pemikiran Leilo Baso dan Maureen Cain, yang masing-masing melalui tulisan terbitan tahun 1973 dan 1974. Artinya pemikiran-pemikiran ini berada pada lingkungan sekitar perang dingin antara blok barat dan blok timur.

 

Halaman  1  2  3

1
2
3
Artikulli paraprakLiga Champions: Menang Agregat 3-2 atas Dortmund, PSG Lolos ke Babak Perempat Final
Artikulli tjetërKasus Corona Bertambah, Masker Kian Sulit Ditemukan