Firda Tari Triana, Mahasiswa Universitas Galuh Ciamis, Foto,/Ist.

OPINI, PASUNDANNEWS.COM – Eskalasi kejahatan seksual entah itu pemerkosaan, pelecehan, dan pencabulan terhadap perempuan dan anak semakin marak terjadi.

Kita tak bisa membicarakan kekerasan seksual seperti membicarakan kasus penipuan atau pencurian.

Penyebab kekerasan seksual bukanlah adanya peluang atau keserakahan, melainkan cara berpikir keliru yang membutuhkan upaya sistemik untuk membongkarnya.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) merilis data kekerasan seksual pada satuan pendidikan sepanjang Januari hingga April 2023.

Data yang FSGI rilis menunjukkan, terdapat 15 kasus kekerasan seksual baik di sekolah maupun pondok pesantren.

Terdapat peningkatan dalam lima bulan pertama di tahun 2023 kasus kejahatan seksual, tercatat 22 kasus dengan 202 korban anak.

Pelaku dari 22 kasus tersebut diantaranya lakukan oleh guru sebanyak 7 kasus,

Kemudian ada juga kepala sekolah, kepala madrasah, pemimpin pondok pesantren, pengasuh pondok pesantren dan penjaga sekolah.

Paparan data tersebut sangat memperihatinkan, terlebih ancaman kekerasan seksual yang terjadi masih dalam lingkungan pendidikan.

Kemendikbud Ungkap Tiga Dosa Besar Pada Dunia Pendidikan 

Kemendikbud Ristek secara tegas menyatakan terdapat tiga dosa besar di dunia pendidikan yaitu perundungan, kekerasan seksual, dan intoleransi.

Akar kekerasan seksual bukan hanya moralitas (yang kerap maknai oleh kelompok dominan) dan penghukuman.

Ada masalah yang lebih mendasar: relasi kuasa, yaitu pandangan mengenai hubungan antara yang dominan dan yang lemah.

Masalahnya bukan pada korban, melainkan pada pelaku yang melihat korban tak berdaya, sehingga dapat dijadikan obyek pemuas nafsu seks.

Maka tak mengherankan bila korban kekerasan seksual bukan hanya perempuan, tapi juga anak-anak dan laki-laki yang berada dalam situasi kalah-kuasa.

Ternyata kejahatan seksual juga terjadi di Tataran Galuh Kabupaten Ciamis,

Sejak akhir tahun 2022 puluhan siswa dan siswi pada salah satu sekolah di Ciamis menjadi korban kejahatan seksual, dimana pelakunya adalah seorang guru.

Hal ini diungkap ketika salah satu orang tua korban melaporkan kasus ini ke Mapolres Ciamis pada akhir Mei 2023. (bandung.kompas.com) 7 Juni 2023, 14.17 WIB.

Hingga kini pelaku masih aktif menjalani aktivitas di sekolah, karena statusnya masih sebagai saksi terlapor.

Hal tersebut tentunya membuat keprihatinan terhadap korban dengan sikap pihak sekolah dan penegak hukum yang dirasa tidak melihat penanganan kasus ini dari perspektif korban.

Lingkungan pendidikan yang direpresentasikan melalui perangkat sekolah seharusnya menjadi pihak yang paling bertanggung jawab dalam melindungi anak dari ancaman kekerasan seksual.

Selain itu juga sekolah idealnya merupakan jaring pengaman bagi peserta didiknya.

Peran Pemerintah Melalui Dinas Terkait Harus Dioptimalkan 

Maka peran pemerintah melalui dinas terkait dibutuhkan, berbagai regulasi yang terkait dengan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual harus menjadi rujukan.

Seperti Undang-Undang No 12 Tahun 2023 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan Peraturan  Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021.

Lalu Permendikbudristek Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan pada Lingkungan Satuan Pendidikan.

Selin itu, Peraturan Menteri Agama No 73/2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lembaga pendidikan.

Selanjutnya, Keputusan Menteri Agama No 3/2023 tentang Pedoman Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama.

Dalam hal ini lingkup Kemenag Ciamis juga harus buka suara dan melakukan aksi nyata agar tidak ada kasus kejahatan seksual yang menimpa generasi muda Ciamis.

Melihat hal tersebut, lantas relevan-kah penghargaan Kabupaten Layak Anak yang disandang Ciamis jika kondisi lapangan masih banyak anak yang menjadi korban dari bejatnya birahi.

Sudah seharusnya Kepala Daerah dan DPRD Ciamis menggunakan relasi kuasanya untuk mendorong aparat kepolisian dalam mengupas tuntas kebejatan pelaku kejahatan seksual.

Jangan sampai predikat Kabupaten Layak Anak menjadi kiasan belaka untuk citra semata.

Selain itu, pendampingan terhadap korban pun harus dilakukan. Kekerasan seksual berdampak panjang karena ada trauma mendalam yang dialami korban.

Jangan sampai kita melupakan kelanjutan hidup korban yang sudah pasti dihantui rasa trauma.

Kekerasan seksual seharusnya ditangani secara serius bukan hanya dari aspek penghukuman.

Tetapi juga pentingnya pencegahan dan penanganan cepat serta pemulihan terhadap korban.

Dibutuhkan sosial movement dari semua pihak untuk berkolaborasi bersama dalam menangani pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan.

Jangan hancurkan generasi muda hanya karena nafsu belaka, usut tuntas kejahatan seksual di bumi Tatar Galuh Ciamis.

Penulis : Firda Tari Triani (Ketua BEM FISIP Universitas Galuh Ciamis)

Artikulli paraprakBupati Herdiat Meminta kepada Para Calhaj Doakan Kebaikan untuk Kabupaten Ciamis
Artikulli tjetërHari Jadi Ciamis ke 381, Bupati Ciamis Ziarah ke Makam Leluhur Galuh