PASUNDAN NEWS – Pamor Dedi Mulyadi sebagai calon Gubernur Jawa Barat semakin menguat. Elektabilitasnya terus meroket, meninggalkan tiga kandidat lainnya. Di basis hijau seperti Kota Tasik dan Kota Bekasi serta di basis merah seperti Subang, Dedi unggul telak.

Demikian disampaikan Direktur Eksekutif Citra Komunikasi LSI Denny JA, Toto Izul Fatah, kepada pers di Jakarta, Kamis (26/9/2024). Ia menanggapi hasil sejumlah lembaga survei tentang preferensi pemilih warga Jabar yang menunjukkan keunggulan Dedi Mulyadi.

Menurut Toto, pasca Ridwan Kamil maju di Pilkada DKI Jakarta, elektabilitas Dedi Mulyadi mengalami kenaikan signifikan dengan rata-rata kenaikan 30 hingga 40% di setiap wilayah yang disurvei.

“Namun, kenaikan elektabilitas Dedi bukan hanya karena ketiadaan kompetitor utama seperti Ridwan Kamil, tapi juga karena secara personal Dedi memiliki modal elektabilitas dan brand yang kuat. Ditambah lagi, Dedi memiliki tingkat kesukaan yang sangat tinggi, yaitu 85%, dari orang yang mengenalnya, sekitar 80%,” jelas Toto.

Dengan modal ini, lanjut Toto, elektabilitas Dedi kini bukan hanya unggul di basis tradisionalnya, tetapi juga merambah kuat di basis hijau, seperti PKS dan PPP, serta di basis merah yang dikuasai PDIP.

Toto menyebut Kota Tasik, yang merupakan basis PPP, dan Kota Bekasi, yang merupakan basis PKS, sebagai contoh. Di dua wilayah ini, Dedi unggul dengan elektabilitas 62,0% di Kota Bekasi dan 78,6% di Kota Tasik.

Padahal, di Bekasi ada Ahmad Syaikhu, kader PKS yang diusung partainya sebagai calon Gubernur Jabar, yang juga tinggal di Bekasi. Namun, elektabilitas Syaikhu tertinggal jauh dengan hanya 28,9%.

Di Kota Tasik, Dedi tampil lebih dominan lagi dengan elektabilitas 78,6%, sementara tiga kandidat lainnya hanya memperoleh di bawah 10%, termasuk Syaikhu yang hanya mencapai 9,3%.

Hal yang cukup fenomenal terjadi di Kabupaten Subang, yang selama ini menjadi kantong PDIP. Di wilayah ini, Dedi unggul dengan 92%, sementara tiga kandidat lainnya hanya meraih di bawah 5%. Kasus serupa terjadi di Purwakarta, basis tradisional Dedi, di mana ia unggul dengan 89,5%.

Toto menyimpulkan bahwa kasus Dedi Mulyadi menunjukkan bahwa perilaku pemilih di Pilkada berbeda dengan Pileg. Dukungan banyak partai tidak selalu berbanding lurus dengan kemenangan calon di Pilkada.

“Di Pilkada, kekuatan personal figur menjadi penentu kemenangan. Mau didukung banyak partai pun, kalau figurnya lemah, biasanya kalah. Sebaliknya, figur yang kuat seperti Dedi bisa unggul meskipun tanpa dukungan partai mayoritas,” tegas Toto.

Terkait faktor-faktor yang membuat mantan Bupati Purwakarta ini unggul merata di hampir seluruh wilayah Jawa Barat, Toto menjelaskan salah satunya adalah intensitas Dedi turun ke lapangan untuk menyapa rakyat, yang jauh melampaui tiga kandidat lainnya.

“Dedi adalah calon yang paling intens berinteraksi dengan masyarakat dengan berbagai kemasan, salah satunya melalui seni dan budaya,” tambahnya.

Simpati publik juga semakin kuat karena Dedi berani mengambil risiko membela orang-orang kecil yang diduga sebagai korban penegakan hukum yang ceroboh, seperti dalam kasus Vina Cirebon.