Foto/Istimewa

BERITA OLAHRAGA, PASUNDANNEWS.COM – Perjalanan karier pemain diaspora timnas Indonesia di Asia tampaknya belum berjalan mulus.

Diketahui, Rafael Struick mengalami musim sulit di Australia, kini giliran Sandy Walsh yang menghadapi tantangan serupa di Jepang.

Fenomena ini menunjukkan pola berulang: kepindahan dari Eropa ke Asia tidak otomatis membawa dampak positif bagi pemain keturunan Indonesia.

Struick, yang masih berusia 21 tahun, memutuskan meninggalkan Liga Belanda dan bergabung dengan Brisbane Roar di A-League Australia. Sayangnya, petualangan barunya hanya bertahan satu musim.

Struick hanya tampil 10 kali sepanjang musim, dengan total menit bermain hanya 239 menit. Brisbane Roar sendiri finis di peringkat 12 dari 13 tim, beruntung tidak ada sistem degradasi di liga tersebut.

Kondisi serupa kini dialami Sandy Walsh. Bek senior timnas Indonesia itu bergabung dengan Yokohama F. Marinos di Liga Jepang setelah menghabiskan sebagian besar kariernya di Liga Belgia.

Namun, meski membawa pengalaman dan kematangan, Walsh minim menit bermain dan klubnya saat ini juga berada di papan bawah klasemen sementara J1 League.

Kisah dua pemain ini menjadi pelajaran berharga bahwa tantangan beradaptasi di liga Asia tak kalah beratnya dibanding di Eropa, meskipun secara geografis lebih dekat ke Indonesia. Adaptasi budaya, taktik, hingga kompetisi internal klub menjadi faktor penentu yang kerap terabaikan.

Apakah ini sinyal bagi pemain diaspora lainnya untuk lebih berhati-hati dalam memilih arah karier? Waktu akan menjawab, tetapi yang pasti, Struick dan Walsh menjadi contoh bahwa jalur ke Asia tidak selalu menjanjikan ruang bermain lebih luas.

(Herdi/PasundanNews.com)