(foto: Istimewa)

Oleh: Noviandi Harahap *)

Bencana pandemik virus Covid-19 telah melanda seantero dunia, termasuk juga Indonesia. Tercatat pada tanggal 2 Maret 2020 Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia yang disusul dengan naiknya angka kasus positif di hari-hari selanjutnya. Menanggapi masalah ini, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan. Namun, hingga saat ini pemerintah di nilai lambat dan juga labil terkait kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan untuk mengatasi masalah ini. Dan yang paling baru adalah adanya wacana untuk menerapkan darurat sipil di Indonesia yang menuai pro-kontra.

Polemik Pemberlakuan Status Darurat Kesehatan Masyarakat hingga Wacana Pemberlakuan Darurat Sipil

Perlu diketahui secara bersama, bahwa saat ini pemerintah Republik Indonesia baru memberlakukan kondisi Darurat Kesehatan Masyarakat yang ditetapkan langsung oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.

Sebagai langkah lanjutan atas ditetapkannya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat terdapat beberapa opsi yang dapat diambil oleh Pemerintah Pusat sebagaimana tercantum dalam Pasal 49 Ayat (1) yaitu Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, atau Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh pejabat Karantina Kesehatan. Namun, entah kenapa yang dipilih oleh pemerintah pusat justru pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagaimana ditetapkan dalam PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Ada beberapa hal yang perlu dikritisi dari PP ini. Pertama, PP ini secara garis besar merupakan bentuk salinan dari Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Padahal harusnya isi sebuah PP berisi aturan yang lebih merinci terkait isi muatan sebuah undang-undang. Kedua, materi muatan di PP No. 21 Tahun 2020 juga pada dasarnya sudah diterapkan oleh masyarakat dan pemerintah daerah jauh sebelum PP tersebut ditetapkan. Misalnya dalam Pasal 4 Ayat (1) PP tersebut mengatur Pembatasan Sosial Berskala Besar paling sedikit meliputi: a. peliburan sekolah dan tempat kerja; b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Bukankah berbagai hal tersebut sudah dilaksanakan sebelumnya? Lantas untuk apa masih dibahas?

Ketiga, PP No. 21 Tahun 2020 hanya semakin memperpanjang alur birokrasi dimana pemberlakuan PSBB di daerah provinsi/kabupaten/kota terlebih dahulu harus mengusulkan kepada Menteri di bidang kesehatan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) PP No. 21 Tahun 2020. Keempat, dalam PP No. 21 Tahun 2020 tersebut tidak jelas pengaturan mengenai wewewnang pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Misalnya saja dalam Pasal 4 Ayat (3) PP No. 21 Tahun 2020 disebutkan bahwa Pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk. Siapakah yang bertanggung jawab untuk memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk tersebut? Apakah pemerintah pusat atau pemerintah daerah? Frasa memperhatikan dalam Pasal 4 Ayat (3) tersebut juga rasanya kurang tepat, karena masih menimbulkan multitafsir. Alangkah baiknya jika frasa yang digunakan adalah frasa menjamin agar ada jaminan dan kepastian dalam pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.

Polemik belum tuntas saat ini sedang ramai membicarakan wacana Darurat Sipil. Hal ini memang masih bersifat wacana, namun ada suatu hal ganjil. Mengapa opsi Darurat Sipil yang dipilih oleh pemerintah? Padahal masih ada opsi Karantina Wilayah. Perlu diketahui bahwa pemberlakuan darurat sipil lebih mengedepankan pendekatan keamanan ketimbang pendekatan kesehatan. Dalam keadaan bahaya, penguasa darurat sipil boleh melanggar hak asasi manusia atas nama keamanan sebagaimana yang diatur dalam 10 sampai Pasal 21 Perppu No 23 tahun 1959. Jika dikaji dari berbagai hak atau kewenangan pemerintah dalam Perppu tersebut, hanya beberapa pasal saja yang dipandang efektif untuk mengatasi bencana Covid 19. Misalnya, Pasal 19 Perppu No 23 Tahun 1959 menyebutkan bahwa Penguasa Darurat Sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah. Ketentuan tersebut dapat berguna untuk mengatasi penyebaran virus corona. Akan tetapi berbagai ketentuan lainnya lebih menjurus kepada perspektif keamanan.

Banyak kalangan masyarakat juga yang menyoroti persoalan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk apabila diberlakukan darurat sipil. Dalam Perppu No 23 Tahun 1959 tidak diatur mengenai pemenuhan kebutuhan dasar warga negara dalam kondisi darurat sipil. Berbeda misalnya jika diberlakukan Karantina Wilayah, kebutuhan dasar hidup warga negara bahkan sampai hewan ternak pun menjadi tanggung jawab pemerintah. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan bahwa ‘Selama dalam Karantina Wilayah, kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat.’

Negara dalam Dilema Prioritas: Kesehatan atau Ekonomi?

WHO mengatakan bahwa penyebaran Covid-19 melalui tetesan kecil yang keluar dari hidung atau mulut ketika mereka yang terinfeksi virus bersin atau batuk.

Tetesan itu kemudian mendarat di benda atau permukaan yang disentuh dan orang sehat. Lalu orang sehat ini menyentuh mata, hidung atau mulut mereka. Virus corona juga bisa menyebar ketika tetesan kecil itu dihirup oleh orang sehat ketika berdekatan dengan yang terinfeksi corona.

Identifikasi masalah berdasarkan keterangan WHO diatas dapat kita pahami, dalam situasi seperti ini, pemerintah perlu menjaga kehidupan masyarakat. Dan kehidupan masyarakat itu kompleks, bukan hanya soal kesehatan, tapi juga pekerjaan, pendidikan atau akses ke tempat-tempat publik. Menariknya kompleksitas masalah ini, apapun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pasti berdampak positif pada satu aspek dan akan buruk pada aspek yang lain. Contohnya saja baik untuk kesehatan, namun buruk untuk ekonomi. Begitu juga sebaliknya, persis seperti buah simalakama.

Tentu argumentasi pencegahan virus tidak untuk kesehatan seolah munafik, karena virus berbahaya dan mengakibatkan kematian, tetapi bukan itu tujuannya. Logikanya jika penyebaran virus semakin banyak, maka akan membebani anggaran kesehatan, jumlah dokter dan pasien tidak seimbang dan perginya investor di Indonesia. Sekarang, makroekonomi Indonesia anjlok. Kurs Indonesia melemah, pertumbuhan ekonomi di prediksi akan turun dan pendapatan negara yang menurun (karena kebijakan suku bunga turun yang tadinya 5%, menjadi 4,5%). Beberapa pekerja di Jakarta kena PHK, ekonomi mikro (pasar-pasar) tutup. Jadi kita rugi secara kesehatan, juga sudah rugi secara ekonomi.

Dalam kondisi demikian, tentu pesimis tidak diperbolehkan. Belajar pada mitologi Yunani, Kotak Pandora. Untuk pemerintah kedepan perlu membuat suatu kebijakan jangka pendek, menengah dan panjang. Jangka pendek fokusnya pada pencegahan penyebaran dan jangan bunuh perekonomian. Jangka menengah, hidupkan ekonomi-ekonomi masyarakat, perkuat sumber daya manusia. Jangka panjang, buat semacam standarisasi penanganan kasus virus bila terjadi di masa depan (karena catatan sejarah virus semacam itu sudah pernah terjadi, seperti flu spanyol). Inovasi-inovasi kedepan akan lebih canggih, jika peningkatan sumber daya manusia di Indonesia lebih diperkuat.

*) Pengurus HMI komisariat PIPS UPI

Artikulli paraprakEkonomi dan Ketenagakerjaan di Tengah Pandemi Covid 19
Artikulli tjetërBakti Sosial ala GP Ansor Mangunreja untuk Memutus Mata Rantai Covid-19