(foto: Istimewa)

Oleh: Ari Muhammad Syafari, S.Pd *)

PasundanNews, – Kasus COVID-19 di Indonesia terus bertambah. Pada tanggal 5 April 2020, total 2.273 kasus positif yang melanda 32 provinsi. Di antara jumlah tersebut, 198 kasus berakhir dengan kematian dan 164 kasus sembuh.

Menjadi sebuah perhatian yang sangat serius, terkhusus pemerintah pusat maupun daerah untuk terus berupaya fokus dalam penanganan penyebaran COVID-19 di Indonesia. Jika tidak dilakukan secara serius nan masif penanganan penyebaran COVID-19 ini, tentu akan berdampak pada penurunan pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang diperkirakan mencapai 4% atau lebih rendah.

Kolaborasi Masyarakat dan Pemerintah
Langkah pemerintah yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) tertanggal 31 Maret 2020. Optimis, akan bisa mengantisipasi penyebaran COVID-19 ini, dalam pasal 4 angka (1) poin a, b dan c menyebutkan bahwa ‘Pembatasan Sosial Berskala Besar paling sedikit meliputi; a) peliburan sekolah dan tempat kerja; b) pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau; 3) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.’

Dalam hal ini pemerintah sudah berupaya cepat dalam penanganan penyebaran COVID-19 ini. Dengan PSSB pasal 4 diatas diharapkan bisa memutus mata rantai penyebaran COVID-19 di Indonesia. Sehingga Indonesia lambat laun akan bisa terbebas dari penyebaran COVID-19.

Namun upaya tersebut akan berhasil, ketika pemerintah terlebih dahulu mampu merefleksikan yang pernah dilakukan oleh negara-negara yang sudah berstatus bebas dari COVID-19. Saya kira dalam menjaga stabilitas ekonomi, sosial dan politik langkah cepat dan tepat harus dilakukan secara masif dalam penanganan penyebaran COVID-19.

Pemberlakuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 ini merupakan langkah cepat saja. Namun belum tentu menjadi langkah tepat. Ketika pemerintah tidak bisa menegaskan dan berani untuk menjalankan kebijakan tersebut dengan komprehensif. Langkah-langkah penanganan penyebaran COVID-19 ini, tentuna tidak bisa dilakukan secara (hanya) terbatas pada kebijakan dari pemerintah saja, namun masyarakat juga harus mampu melaksanakannya secara sungguh-sungguh dan kolaboratif.

Oleh karena itu, seluruh stake holder dari pemerintah pusat, pemerintah daerah hingga masyarakat harus bisa fokus dan menjadi garda terdepan dalam upaya penanganan penyebaran COVID-19 di Indonesia.

COVID-19 belum mereda, Omnibus law akan ada?
Disamping maraknya penanganan penyebaran COVID-19 oleh pemerintah. Pembahasan mengenai Omnibus law RUU Cipta Kerja yang menuai banyak konflik dan kritik dari berbagai kalangan masyarakat yang dimana dipastikan tetap berjalan di DPR. Dalam rapat paripurna DPR menyepakati bahwa pembahasan draf RUU Cipta Kerja diserahkan kepada Badan Legislasi (Baleg).

Istilah Omnibus Law sendiri berasal dari Omnibus Bill yang berarti undang-undang yang mencakup berbagai isu atau topik. Jadi Omnibus Law atau Omnibus Bill dulunya diajukan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus. (Kamus Hukum Merriam-Webster)

Hal itulah yang sekarang di lakukan oleh DPR dan sangat disayangkan perhatian serta kritik dari masyarakat tersebut tentang pembahasan Omnibus law RUU Cipta Kerja masih diabaikan oleh DPR. Bukankah tugas dan wewenang DPR salah satunya ‘Menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi rakyat.’

Ekonom senior INDEF, Faisal Basri mengatakan bahwa “Omnibus law RUU Cipta Kerja ini sangat berbahaya. Tidak ada kepentingan buruh yang terwakili di dalam proses pembuatan ini, tidak ada kepentingan daerah. Kemudian pembahasannya tertutup, tidak lewat pengujian akademis yang kita tahu,” dalam acara diskusi yang digelar di Hotel Millenium Sirih, Jakarta, Rabu (18/12/2019) yang lalu.

Pendapat diatas bisa menjadi pesan untuk pemerintah, bahwa pembahasan Omnibus law RUU Cipta Kerja belum selesai serta masih ketidaksesuaian dengan harapan rakyat (buruh) atau rakyat dalam tahap perekonomiannya dibawah menengah. Akan tetapi saya pikir banyak diluaran sana yang pro maupun kontra terhadap Omnibus law RUU Cipta Kerja ini.

Misalnya; Bagi pekerja, aturan ini merugikan karena banyak hak buruh yang tercerabut. Contoh; dimudahkannya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dihapuskannya cuti-cuti penting seperti cuti haid dan melahirkan, diperluasnya pekerjaan yang menggunakan sistem kontrak dan alih daya yang bikin mereka rentan diputus kontrak begitu saja. Hal lain juga yang membuat pekerja keberatan dengan aturan ini adalah perubahan upah menjadi per-jam yang membuat pekerja dilihat sebagai mesin produksi.

Sementara bagi pengusaha dan investor, aturan ini menguntungkan karena: mereka tidak harus menanggung resiko dari apa yang ditakutkan oleh para pekerja.

Harapan pribadi, upaya pemerintah dalam penanganan pencegahan penyebaran COVID-19 di Indonesia harus terus dilakukan secara komprehensif. Hal ini demi prioritas kesehatan masyarakat dan kestabilan ekonomi, sosial dan politik di Indonesia. Namun disamping itu terkhusus bagi pemerintah yang masih ngotot dalam membahas Omnibus law RUU Cipta Kerja (UU Sapu Jagat), tolong hentikan terlebih dahulu karena kepentingan rakyat adalah hal yang paling mendasar.

*) Penguruh HMI Cabang Kabupaten Bandung

Artikulli paraprakPSI Gandeng SPI, Gagas Penyemprotan Disinfektan Mandiri
Artikulli tjetërKorban Penipuan Travel dan Investasi Bodong Laporkan HP ke Polres Cianjur