Mahasiswa Pascasarjana Prodi (Program Studi) Ilmu Pemerintahan Universitas Padjajaran (UNPAD) Ihsan Nuralim. Foto/Istimewa

BERITA CIAMIS, PASUNDANNEWS.COM – Mahasiswa Pascasarjana Prodi (Program Studi) Ilmu Pemerintahan Universitas Padjajaran (UNPAD) Ihsan Nuralim sampaikan problematika di tingkat Pemdes (perintah desa).

Sebagaimana ia sampaikan dalam keterangan tertulisnya pada Jumat (5/7/2024), kepada PasundanNews.com.

Menurutnya, pemdes dibayangi sejumlah persoalan, antara lain perpanjangan jabatan kepala desa menjadi 8 tahun yang baru-baru ini disahkan.

Kemudian juga anggaran pembangunan yang besar, lika-liku pemberdayaan desa, serta puluhan regulasi yang beririsan dengan desa.

“Sejumlah problematika ini berkaitan dengan dalih pembangunan desa dan pemberdayaan,” ujarnya.

Ia menjelaskan, bahwa pengaturan tentang desa itu tertuang dalam tiga undang- undang, yaitu UU No 19 Tahun 1965 (9 Bab 69 Pasal), UU No 5/1979 (7 Bab, 40 Pasal) dan UU No. 6 Tahun 2014 (16 Bab, 122 pasal).

“Undang-undang tersebut bermuara pada semangat pengaturan yang mengatur daerah otonom tentunya agar terwujud desa yang adil, makmur dan sejahtera lalu apakah sudah terwujud cita-cita luhur itu hari ini?,” ungkapnya.

Penyelenggaraan pemerintahan desa di Indonesia dihadapkan pada beberapa tantangan signifikan yang memerlukan perhatian serius.

Salah satunya adalah kurangnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) di tingkat desa, yang menghambat efektivitas dalam menjalankan tugas pemerintahan.

“Selain itu, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana desa juga menjadi isu krusial. Mekanisme pengawasan yang lemah dapat mengakibatkan penyalahgunaan dana desa. Masalah ini menunjukkan perlunya peningkatan pengawasan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan keuangan desa,” katanya.

Sementara itu, partisipasi masyarakat dalam musyawarah desa juga masih terbatas pada elit desa, sehingga kebijakan yang dihasilkan tidak selalu mencerminkan kepentingan mayoritas warga desa.

“Masalah infrastruktur dasar yang kurang memadai juga menjadi kendala serius dalam pembangunan desa,” tuturnya.

Ketergantungan yang tinggi, lanjutnya, pada dana desa dari pemerintah pusat juga menjadi masalah tersendiri karena mengurangi kemandirian finansial desa.

“Regulasi yang rumit dan birokrasi yang panjang juga menghambat efektivitas pemerintahan desa dalam mengimplementasikan program pembangunan,” papar Ihsan.

Jawaban Persoalan Penyelenggaraan Pemdes

Ihsan membeberkan, dalam mengatasi berbagai persoalan penyelenggaraan pemerintahan desa maka solusinya harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang terdokumentasi dengan baik.

“Salah satu solusi krusial adalah memperkuat kapasitas Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga pengawas dan perwakilan masyarakat desa yang efektif,” terangnya.

BPD perlu diberdayakan dengan lebih baik sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang menegaskan peran penting BPD dalam pengawasan terhadap kinerja kepala desa.

Selain itu, perlu dilakukan penguatan kapasitas administratif dan manajerial di tingkat desa.

“Hal ini termasuk dalam pengelolaan program pembangunan yang terintegrasi dan berkelanjutan, sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) yang ditetapkan oleh musyawarah desa,” jelasnya.

Dengan menerapkan solusi-solusi ini, diharapkan penyelenggaraan pemerintahan desa dapat lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat,

Pemdes lebih akuntabel dalam pengelolaan keuangan, dan lebih efektif dalam pencapaian pembangunan yang berkelanjutan menuju Self Goverment Comunty.

“Selain itu, diperlukan upaya serius dalam meningkatkan kapasitas SDM desa, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana desa, serta memperbaiki koordinasi antar-lembaga pemerintah dan memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan,” ujarnya.

Hal ini juga sejalan dengan semangat untuk memperkuat otonomi desa dan menjadikan desa sebagai unit pemerintahan yang mandiri dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Penting juga, imbuh Ihsan, menghindari agar desa jangan dikeramatkan sebagai pusaka masa lampau yang dimitoskan sebagai taman surga loh jinawi tata tentram karta raharja.

“Desa masa lampau demikian hanya mitos karena faktanya saat ini desa hanya berisi komunitas miskin yang tidak mendapatkan barang publik dan jasa publik dari negara. Desa jangan dipertahankan sebagai indirect bestuur ala igo 1906 Jo. UU 5/1979 Jo. UU 6/2014 dan pemerintahan bayang-bayang/kuasi daerah otonom/pemerintahan semu palsu/korporatisme negara,” tandas Ihsan.

(Herdi/PasundanNews.com)