Kaka Suminta, Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia. (foto: Istimewa)

Tawaran MWK dalam tulisannya disampaikan dalam subjudul ‘Hukum Sebagai Perubahan Sosial’. Dengan menggunakan tesis Cain, MWK menyebutkan bahwa ada tiga tema utama dalam hukum, yakni tentang ideologi hukum, hukum sebagai fungsi sosial, dan hukum sebagai alat perubahan sosial. Dengan menekankan pada tema ketiga, yakni hukum sebagai alat perubahan sosial inilah MWK memberikan tawarannya, yang perlu kita kaji saat ini, apakah tema tersebut telah kita lakukan dan terimplementasi dengan benar, sehingga hadirnya keadilan dalam bidang sosial dan ekonomi sebagai bangunan bawah sosial, mendapatkan penguatan dari perubahan pada bangunan atas, hukum dan politik. Waktu yang cukup, lebih dari dua dasa warsa sejak reformasi, atau lebih dari tiga dasa warsa sejak terbitnya tulisan tadi, sekiranya sudah cukup untuk menjadi kajian bagi kita terhadap pemikiran ini, saat ini.

Dengan melihat sosok MWK sebagai pemikir yang identik dengan pemikiran keadilan struktural, yang memandang ketidak adilan struktural sebagai tesa yang harus dihadapkan dengan antitesa gerakan keadilan struktural, yang dalam pemikiran Baso, sebagaimana dikutip MWK menempatkan hukum sebagai instrumen transisi dari feodalimen ke kapitalisme, dimana kaum buruh dipaksa untuk menerima syarat-syarat dan hukum yang memihak kepada kelompok yang dominan. Baso berargumen bahwa perkembangan kapitasime dalam bidang hukum adalah dengan perluasan hubungan-hubungan produksi dan komoditi, sehingga sistem produksi memerlukan buruh sebagai komoditi. Dengan demikian maka antitesa terhadap ketidakadailan struktural ini adalah gerakan keadilan struktural yang harus dikakukan oleh dan didalam buruh sendiri.

Bagaimana kita menghubungkan pemikiran MWK dengan kiprahnya sebagai pendiri Komite Independen Pemantau pemilu (KIPP) Indonesia, yakni lembaga pemantau pemilu pertama di Indonesia. Sementara itu di dalam pemilu sendiri  didalamnya juga terkandung potensi formalisme, dan fetisisme hukum. Hal ini dapat kita lacak dari salah satu tawarannya dalam menempatkan hukum sebagai alat perubahan sosial, yaitu ketika dan jika perubahan sosial itu merupakan sebuah proses dialktika struktural dan kesadaran, dalam hal ini yang terjadi adalah ketika tuntutan kekuatan-kekuatan produsi berkembang, sedemikian rupa sehingga memaksa kekuatan dominan untuk menerima perubahan itu, baik karena syarat-syarat objektif, maupun karena kesadaran kelas buruh, di dalamnya harus  ada syarat perluasan hak pilih sebagai salah satu pilar demokratik.

Bagaimana kita melihat apa yang menjadi pemikiran yang berkembang jelang reformasi di Indonesia tahun 1998, dengan apa yang kita temui hari ini, ketika sebagian besar orang dan indikasi objektif menunjukan kekecewaan, karena apa yang dipikirkan dan diharapkan yakni hadirnya keadilan sosial ternyata tak hadir begitu saja ketika perluasan pilihan demokrasi coba dihadirkan melalui formalisme hukum pemilu saat ini. Ada satu rumusan yang nampaknya bisa kita jadikan acuan dari pemikiran saat itu, yakni hukum sebagai alat perubahan sosial bekerja jika, penerimaan perubahan hubungan produksi baru tadi melalui perundang-undangan dilakukan untuk kepentingan buruh dan perluasan hak pilih, sebagai sebagian syarat utama.

Sekarang kita memahami mengapa kekecewaan terhadap perubahan hukum dan politik pasca reformasi tersebut terjadi, yakni hukum dan pelaksanaan pemilu yang merupakan perwujudan dari perluasan hak pilih demokratik dilakukan, tidak dibarengi dengan apa yang  seharusnya mendahului, yakni adanya perubahan kekuatan produksi yang memaksa kelompok dominan untuk menerima syarat-syarat objektif yang dibarengi dengan kekuatan kesadaran kelas sebagai prasaratnya, sehingga perluasan hak pilih demokratik, seharunya hanya merupakan konsekwensi saja dari prakondisi pertama tadi. Sementara itu yang terjadi dalam reformasi Indonesia adalah kebangkrutan sistem kapitalis di Indonesia untuk memenuhi janji kapitalisme, yakni memberikan kue yang lebih besar melalui rumus harapan rasional. Saat ini kelompok dominan sudah melakukan rekonsolidasi dan bahagia dangan formalisme hukum dan pemilu yang formalisme pula.

*) Penulis adalah Sekretaris Jenderal KIPP Indonesia

 

Halaman  3