PASUNDANNEWS, BANDUNG – Paguyuban yang berdiri tanggal 2 Februari 2015 ini menjadi paguyuban yang konsisten melestarikan kebudayaan khususnya kebudayaan sunda.
Satria Sunda Sakti (S3) memiliki visi menjadi wadah pusat unggulan kreativitas kesenian dan kebudayaan,mengembangkan dan membina seni kreatif yang sudah tertutupi arus moderenisasi.
Menelisik kebudayaan dari berbagai sudut merupakan elaborasi yang di lakukan oleh Paguyuban Satria Sunda Sakti,tidak hanya itu Paguyuban yang di pimpin oleh H.Yudi Irfan Daniel,MA selaku ketua umum S3 memberikan warna baru bagi masyarakat dengan ragam kegiatan yang tak lepas dari nilai-nilai luhur kemanusiaan yang pada dasarnya kebudayaan bisa selaras dengan kesucian nilai agama.
Agama dan budaya tak bisa terpisahakan keduanya menjadi satu kesatuan, agama tak akan berkembang tanpa kebudayaan, begitupun kebudayaan akan serampangan tanpa nilai-nilai agama.
Namun orang modern pikirannya terganggu oleh kesalahpahaman, menyempitkan diri dengan makna-makna yang di olah pikirannya secara asal-asalan, sehingga tabu dan terbentur oleh paradigma yang dianggap mitos hingga klenik.
Di era globalisasi ini yang secara nilai sudah ambruk menyebabkan “pembusukan” etos kebudayaan, sehingga menjadi hilang arahnya dan fakta sejarah menjadi kabur, bukan tidak mungkin masyarakat atau negara atau bangsa kehilangan pusakanya.
Maka para Ksatria Sunda Sakti menjadi pendobrak terhadap kebekuan berpikir menjadi mesin baru penggerak untuk menjaga nilai nilai positif yang di wariskan turun temurun oleh para leluhur tanah pasundan, Satria Sunda Sakti menjadi pioner Generasi Penyeimbang dimana segala hal kegiatan yang berkaitan dengan kebudayaan, kesenian, ekonomi dan sosial kemasyarakatan menjadi nilai kebaikan.
Zaman terus berganti namun nilai kebaikan takkan pernah tergerus zaman Itulah yang diwasiatkan secara waskita oleh para leluhur yang menjadi “pakaian” kebudayaan.
Kalau boleh meminjam istilah kasta dalam hindu maka Satria atau ksatria yang memiliki arti kewenangan, penegak keadilan dan kebenaran, pengayom masyarakat yang memiliki orientasi pengabdian pada Sang Hyang Tunggal, maka karakteristik ksatria atau satria memiliki watak dep-depan (berani berhadap hadapan secara langsung) dengan membawa nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan.
Namun di era milenial sekarang pergeseran makna Satria atau Ksatria menjadi simbolisme kekuatan, bangsawan materialisme, sehingga Sudra dianggap orang miskin, papa atau fakir, dan Brahmana di anggap para pelaku spiritual padahal kalau kita perluas bahwa ksatria tak lagi disebut ksatria ketika orientasinya kekuasaan, Brahmana bisa menjadi sudra ketika agama dijadikan alat untuk menumpuk kekayaan dan menjadikan dunia sebagai orientasinya, jadi miskin dan fakir tidak terletak pada status sosialnya melainkan pada pemahaman terhadap alat dan tujuan dengan kata lain mana yang menjadi alat mana yang mejadi tujuan. Kalau Islam mengajarkan mesti membedakan mana Wasilah mana Ghayah.
Satria Sunda Sakti, ialah pelaku yang memiliki orientasi menyeimbangkan bahwa ketika Akhirat menjadi tujuan maka jangan lupakan nasib kita di dunia itulah yang Tuhan informasikan dalam Al-Quran.
Eksistensi Satria Sunda Sakti selain aktif mengembagkan, melestarikan kesenian dan kebudayaan juga rutin melakukan kegiatan kemanusia memberikan bantuan-bantuan lepada masyarakat baik moril ataupun materil, merawat situs-situs atau patilasan-patilasan yang sekarang mulai tesingkirkan oleh maraknya pembanguna. para ksatria juga rutin mensosialisasikan “Wangsit Siliwangi” yang memiliki nilai sakral bagi keberlangsungan generasi tatar pasundan. (adm / Pasundannews)