Pasundannews – Badan Musyawarah DPR telah menunjuk Komisi XI sebagai mitra pemerintah dalam pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). RUU ini merupakan perubahan kelima atas Undang-undang Nomor 6 tahun 1983 tentang KUP.
Para stakeholders perpajakan melakukan pembahasan dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) maupun Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU). Mulai dari Menteri Keuangan, Ditjen Pajak, para mantan Dirjen Pajak, pengamat, dan masyarakat.
RUU ini sangat penting dan sangat strategis, karena pajak menjadi penopang utama struktur APBN. Sebagai gambaran, APBN tahun 2021, dengan target belanja 2.750 triliun, pajak di proyeksikan bisa mengisi pundi-pundi kas negara sebesar 1.444,5 triliun.
Sedangkan proyeksi tahun 2022, dengan belanja APBN 1.856 triliun, pajak di harapkan bisa mencapai 1.823 triliun. Pemerintah melihat bahwa perubahan KUP akan jadi momentum untuk mendesain regulasi menuju penguatan penerimaan negara.
Di sisi lain, tahun 2023 menjadi batas waktu pemerintah bisa menggunakan instrumen Undang-undang nomor 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid19, di mana selama kurun waktu 3 tahun, tahun 2020 sampai dengan tahun 2022, untuk mempunyai kebijakan menyusun struktur keuangan defisit melebihi 3% Produk Domestik Bruto (PDB). Tahun 2020 defisit keuangan negara sebesar 6,1%, tahun 2021 perkiraan defisit 5,7% dan tahun 2022 masih di proyeksikan defisit kisaran 4,51% sampai 4,58% dari PDB. Tahun 2023, pemerintah kembali dengan Undang-undang sebelumnya, maksimal defisit keuangan adalah sebesar 3% PDB.
Di sinilah letak strategisnya RUU KUP, untuk mengambalikan kesehatan keuangan negara, dengan topangan dari penerimaan pajak.
Dalam pembahasan RUU KUP ini, kita bisa mengukur keseriusan pemerintah dan DPR secara bersama-sama untuk melakukan penyelamatan fiskal tahun 2023.
Reformasi Perpajakan
Ada 2 hal yang perlu di dorong agar reformasi perpajakan yang menjadi grand design pemerintah bisa berjalan dengan optimal. Pertama, pembentukan Badan Penerimaan Negara. Hal ini sudah di gagas dalam nomenklatur RUU KUP yang sejak tahun 2016 sudah pernah di ajukan pemerintah dan di bahas di DPR RI. Kedua, pembentukan basis data yang valid dan terintegrasi, Single Identification Number (SIN).
Otoritas dan kelembagaan perpajakan di Indonesia masih dalam level eselon 1, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di bawah Kementerian Keuangan. Dalam konteks pengelolaan perpajakan modern, dengan tanggung jawab yang sangat strategis, lembaga ini harus mempunyai fleksibilitas dan kewenangan yang optimal, menjadi lembaga independen langsung di bawah presiden.
Selain itu, Badan Penerimaan Negara menjadi sebuah jawaban yang di butuhkan. Kalau di bawah Kementerian Keuangan, kebijakan yang di butuhkan membutuhkan proses yang panjang dan cenderung tidak efektif. Hal inilah yang di anut negara-negara modern yang tergabung dalam G20, di mana Indonesia adalah salah satu anggotanya.
Hal kedua yang perlu di dorong dengan serius adalah pembentukan database yang valid dan terintegrasi dalam sebauh Single Identification Number (SIN). Konsep dan perencanaan SIN ini sudah di laksanakan sejak tahun 2002, dengan pelaksana teknis waktu itu Direktorat PBB di bawah Ditjen Pajak.
Dengan menggabungkan lebih dari 10 nomor identitas yang melekat pada wajib pajak. Maka pemungutan pajak akan lebih efektif, lebih efisien dan berkeadilan. Fungsi dari pajak, selain sebagai budgeteir, atau pengumpul uang buat negara, juga sebagai regulerend, atau pengatur. Dengan pemungutan pajak yang di dasarkan dengan SIN. Maka fungsi pajak secara optimal bisa memberikan pemasukan maksimal terhadap keuangan negara. Ini yang kemudian akan tercermin di tax ratio.
Di sisi lain, regulasi perpajakan juga dijalankan secara berkeadilan. Bisa menjadi instrumen redistribusi, dan mengurangi tingkat kesenjangan. Inilah yang tercermin dengan penurunan gini ratio.
Dengan momentum pembahasan RUU KUP antara pemerintah dengan DPR RI ini, sangat strategis untuk merealisasikan pembentukan Badan Penerimaan Negara dan mendorong pembentukan Single Identification Number (SIN).
Ini adalah momentum masyarakat membaca bagaimana keseriusan para regulator dalam membuat penyelamatan fiskal menuju tahun 2023.
*Adam*