Korupsi Meningkat, 5 Ormawa Jabar Desak KPK Usut Kasus Mega Skandal Korupsi DPRD Jabar
Korupsi Meningkat, 5 Ormawa Jabar Desak KPK Usut Kasus Mega Skandal Korupsi DPRD Jabar

Bandung, Pasundannews – Menindak lanjuti kegiatan diskusi terbuka di depan kantor DPRD Jawa Barat. Kini lima Organisasi tingkat Jawa Barar kembali mengadakan diskusi lanjutan melalui media Zoom, Sabtu (1o2/6/2021).

Lima ormawa itu yakni Hikmahbudhi, GMKI, KAMMI, Badko HMI, dan PMKRI. Adapun diskusi secarai daring di rekam untuk kemudian di share di akun Official Instragram masing masing Organisasi. Hal itu di lakukan agar peserta di daerah bisa mengikuti diskusi tersebut.

Dengan mengangkat tema” Kekuasaan dan Korupsi di tingkat lokal, Telaah: Mega Skandal Korupsi di DPRD Provinsi Jawa Barat”. Diskusi sebelumnya juga fokus mengangkat tema tentang skandal korupsi di DPRD Jawa Barat.

Ketua Umum HMI Badko Jawa Barat, Anam Gumilar mengatakan, bahwa kasus korupsi di Indramayu dengan skema Banprov T.A 2017-2019 melibatkan beberapa anggota DPRD Jabar.

“Adanya modus yang tersistematis untuk
melakukan kejahatan korupsi. Dimana, anggota DPRD melakukan jual beli jatah dana aspirasi/pokok pokok pikaran (Pokir) antar anggota dewan dengan lintas dapil. Kedua, aspirasi tersebut di lakukan atas ajuan dari dinas terkait level kab Indramayu ke Bappeda Provinsi Jabar,” jelas Amam saat diskusi daring.

Menurut Anam total nilai projek mencapai160 Miliat. Kemudian ada komitmen Fee 3-5 % untuk anggota Dewan yang menjual dana pokirnya tersebut.

“Kasus tersebut melibatkan pengusaha.
Melihat begitu rapihnya modus korupsi dalam kasus Banprov Indramayu, menjadi kekhawatiran kami bahwa modus tersebut bisa di lakukan di daerah-daerah lain di Jawa Barat,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua GMKI Jawa Barat menjelaskan, bahwa kasus tersebut menjadi bukti ada kekurangan dalam system penyelenggaraan pemerintahan di Jawa Barat.

“Tidak transparan, akuntabel, dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah,” jelasnya.

“Kami merasa perlu untuk terus di kaji secara mendalam dengan melihat prespektif akademis dengan kepakaran Kebijakan Publik & Politik, Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara.

Adapun Narasumber yang membedah kasus tersebut dengan pisau akademik yakni Guru Besar Hukum Tata Negara (HTN) Prof. Asep Warlan, Leo Agustino P.hD Pakar Kebijakan, Politik, Pemerintahan. Kemudian Valerianus Beatase S.H., M.H, Pengamat Hukum Tata Negara.

Sementara itu, Pakar Kebijakan, Politik, Pemerintahan, Leo Agustino P. hD mengatakan Sistem Politik di Indonesia yang terbuka baik eksekutif maupun legislatif, memerlukan modal besar.

“hal itu yang mengakibatkan praktik-praktik korupsi terjadi di pemerintahan kita. Kemudian
terjadi juga di Level daerah semenjak tahun 2005 dan di lakukan secara terbuka.

Menurut Leo, Praktik Korupsi di daerah yang sering terjadi yaitu Jual beli Perizinan, jual beli jabatan, perencanaan anggaran, pengadaan barang dan jasa, dan kasus korupsi dana hibah.

“Ketika kita ingin membangun pemerintahan, jangan sampai warga masyarakat ketinggalan di belakang. Seharusnya masyarakat di jadikan sebagai teman diskusi oleh pemerintah. Pemerintah harus seiring sejalan dengan masyarakat. Perlu adanya control, karena control atau pengawasan menjadi nadi dari integritas atau berfungsinya idependensi
pemerintah,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Prof. Asep Warlan mengatakan, bahwa dalam Bahasa Hukum Administrasi. Harus ada penguatan di pemerintahan, aparatur pemerintahan, penegak hukum, di tingkat pengadilan.

“Bagaimana menyambungkan antar KPK, Polisi, Kejaksaan, Inspektorat dan sebagainya. Bahwa tidak ada satupun UU yang bisa menyambungkan hubungan antar penegak hukum secara kelembagaan, itu kelemahan esensial. Perlu adanya UU yang mengatur tentang hubungan antar penegak hukum,” Ungkapnya.

*Sanjaya*