PASUNDANNEWS – Investasi seperti menjadi syarat penting dalam pembangunan Indonesia saat ini. Sehingga banyaknya regulasi yang semakin hari semakin sulit di mengerti. Bahkan regulasi semakin memihak kaum-kaum yang ingin berlaku semena-mena. Segala produk hukum yang keluar seharusnya melindungi rakyat, namun saat ini produk hukum yang keluar seakan terus ingin menindas rakyat itu sendiri. Di dalam negara terbentuknya pemerintah yang seharusnya melindungi segenap warga negaranya justru saat ini malah membuat warga negaranya keresahan dan tidak merasa aman. Lalu apa fungsi pemerintah masih berlaku? Entahlah.
Mengatasnamakan investasi pemerintah kita saat ini rela menomber sekiankan kemanusiaan. Dengan dalih mengorbankan beberapa orang untuk kesejahteraan seluruh masyarakat, justru malah terjadi sebaliknya. Beberapa orang berkuasa seluruh masyarakat menderita. Pembuat kebijakan terkadang berpikir apa yang mereka lakukan sudah baik. Namun nyatanya tidak tepat sasaran. Naif, para pembuat kebijakan kadang selalu menutup mata dan telinga. Tanpa pernah mendengar jeritan-jeritan kaum tertindas, tanpa pernah tau realita di lapangan “dunia nyata” seperti apa.
Banyaknya pasal-pasal yang dirasa merugikan dalam RUU Cipta Kerja ini membuat masyarakat merasa terkhianati oleh para pembuat kebijakan. Mereka mengatasnamakan wakil rakyat namun itu bukan suara rakyat yang sesungguhnya. Eksploitasi akan semakin menjadi dan hadirnya RUU Cipta Kerja ini begitu membuka peluang yang sangat besar untuk kaum kapitalis yang ingin terus berkuasa dan belaku semena-mena. Sungguh tragis.
Dalam RUU Cipta Kerja ini mereka bukan lagi bekerja atas dasar kemanusiaan tapi mereka hanya bekerja agar tidak mati hari ini. Alih-alih untuk kesejahteraan rakyat, produktifitas masyarakat hanya di gunakan untuk membuat korporat semakin kaya, ekploitasi tenaga terus menerus di lakukan. Lucunya kita masyarakat di iming-iming menjadi sejahtera dengan tetap produktif dan terus bekerja tidak peduli menjadi sapi perah dengan doktrinan hustle culture atau gaya hidup dimana simplenya seseorang harus bekerja keras karena dengan bekerja keras mereka menganggap bahwa mereka akan sukses. Nama lain dari budaya ini adalah “Gila kerja”.
Culture hustle ini bisa menjadi toxic yang dimana narasi itu muncul seakan keproduktifitasan manusia menjamin lama atau sebentar nya hidup mereka yang makin bekerja keras akan semakin berumur panjang dan yang tidak bekerja keras akan mendapatkan umur yang pendek padahal faktanya tenaga yang digeruk setiap hari tidak menjamin keproduktifitasan manusia karena definisi produktif yang di persempit oleh mereka. Kaum kapitalis memanfaatkan kata produktif untuk menguntungkan mereka sendiri. Bahkan narasi-nasari yang sempit tentang keproduktifitasan semua hanya akal-akalan kaum kapitalis yang ingin terus menggunakan tenaga-tenaga masyarakat yang di nilai nya bodoh. Namun tidak ada yang lebih bodoh dari mereka yang menganggap orang lain bodoh, terlebih itu adalah rakyat mereka sendiri.
Parahnya dalam RUU Cipta Kerja ini tidak ada pembahasan perempuan yang dimana tidak semua perempuan beruntung bisa diam dirumah sesuai dengan stereotipikal yang ada di masyarakat bahwa perempuan hanya diam dan laki-laki yang bekerja. Faktanya tidak sedikit perempuan yang ingin bekerja dan menghasilkan pendapatan nya sendiri, juga tidak sedikit perempuan yang rela mati-matian menjadi buruh untuk menghidupi keluarganya. Seharusnya pemerintah lebih paham tentang kerentanan perempuan, mereka punya kodrat yang istimewa yaitu mengalami haid setiap bulan dan melahirkan. Sayangnya dalam RUU Cipta Kerja tidak dibahas sama sekali tentang perempuan terlebih tentang cuti haid dan melahirkan hanya masuk kedalam cuti tahunan.
Banyak masyarakat yang turun ke jalan artinya pembuat kebijakan sudah tidak bisa di percaya, lalu apa yang terus menjadi perhitungan para pembuat kebijakan untuk terus melanjutkan merumuskan kebijakan tersebut?
Awalnya masyarakat meyakini bahwa mereka para pembuat kebijakan adalah kaum intelektual yang cerdas dan hebat, saat mereka dipercaya seperti itu mengapa mereka bisa dengan mudah mengkhianati rakyat. Apa mereka benar-benar kaum intelektual yang hebat? Jangan sampai sistem demokrasi ini sebetulnya memberi peluang orang bodoh untuk berkuasa. Sistem demokrasi yang dimana bukan lagi perihal potensial melainkan perihal modal awal yang cukup.
Maka dari itu kita harus terus kawal segala produk hukum yang dikeluarkan demi keberlangsungan hidup seluruh masyarakat juga sebagai salah satu bentuk ikhtiar kita untuk menghentikan orang dzalim yang ingin berlaku semena-mena.
Penulis: Silvia Pauzia
Editor : Redaksi