BERITA CIAMIS, PASUNDANNEWS.COM – Akademi Pemilu Sukabumi menyoroti sengketa Hasil Pilkada Tahun 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam keterangan tertulisnya, Ketua Akademisi Pemilu Sukabumi Teguh Haryanto mengatakan bahwa mungkin saja bisa terjadi apabila salah satu pasangan calon (paslon) merasa dirugikan.
“Indikasinya berupa temuan pelanggaran yang mengarah pada sengketa hasil,” ujar Teguh dalam keterangan yang diterima PasundanNews.com, pada Jumat (13/12/2024).
KPU di setiap daerah melaksanakan penghitungan suara dan rekapitulasi penghitungan suara hingga menetapkan paslon terpilih.
Sejak penetapan calon dilakukan oleh KPU, paslon kepala daerah yang kalah suara dapat mengajukan keberatan atas keputusan KPU dalam waktu tiga hari kerja.
Misalnya, paslon yang kalah dalam perolehan suara dapat mengajukan atau mendaftarkan permohonan sengketa hasil Pilkada ke Mahkamah Konstitusi hingga 13 Desember 2024.
“MK akan memberikan waktu tiga hari kerja bagi para pemohon sengketa untuk memperbaiki permohonan sebelum berkas pengajuan itu diregistrasi dalam buku registrasi perkara konstitusi,” jelas Teguh.
Pada Peraturan MK Nomor 4 Tahun 2024 tentang Tahapan, Kegiatan, dan Perselisihan Hasil Pemilihan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
“Sebelum perkara berpindah ke MK, maka semua hal tentang berperkara, baik kelengkapan bukti-bukti pendukung bagi pemohon maupun termohon, harus dipersiapkan dengan matang,” terangnya.
Perhatikan Dua Komponen Utama dalam Sengketa Pemilu
Selain itu, lanjutnya, KPU dan Bawaslu harus memperhatikan berbagai hal, mulai dari jadwal, hukum acara, kelengkapan berkas jawaban dan pembuktian di mk, hingga hierarki alat bukti.
Paslon dan tim hukumnya juga perlu memiliki persiapan yang lebih matang untuk berperkara di peradilan ini.
Hal pertama yang harus diperhatikan untuk mengajukan permohonan sengketa Pilkada ke MK adalah memastikan dua komponen utama.
Hal itu nantinya akan menentukan apakah pengajuan nantinya lolos hingga pembuktian ataukah berujung kandas di tahap-tahap awal persidangan.
Dua komponen utama tersebut yaitu, pertama, permohonan sengketa diajukan oleh pasangan calon, kecuali untuk Pilkada dengan calon tunggal.
“Dimana pemantau pelaksanaan Pilkada juga dapat mengajukan keberatan ke MK dan kedua, pengajuan sengketa yang diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan,” tutur Teguh.
Ketentuan tersebut bisa ditempuh sepanjang paslon mampu meyakinkan MK bahwa ada persoalan substansial yang terjadi sepanjang pelaksanaan Pilkada yang belum ditangani Bawaslu. Tingkat kehadiran di Tempat Pemungutan Suara (TPS) juga menjadi perhatian.
Teguh mencontohkan, sepeti di TPS yang banyak pesertanya adalah pengusaha, tingkat kehadiran hanya mencapai 30 persen dari 458 pemilih.
Pasal 158 UU Pilkada sering disebut sebagai pemicu dalam pengajuan perkara sengketa Pilkada.
Namun, sepanjang pemohon dapat mendalilkan bahwa penetapan yang dikeluarkan KPU telah mengabaikan adanya kelalaian, kesalahan, dan kecurangan yang bernuansa terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), MK dapat mengesampingkan ketentuan tersebut.
Pertimbangkan Kasus yang Dinilai Subtansial
MK mempertimbangkan kasus yang berdampak substansial terhadap sengketa karena pasangan calon. Dalam hal-hal kunci yang dapat membantu permohonan sengketa dikabulkan oleh MK, yang pertama adalah dalil yang dimohonkan harus jelas dan komprehensif.
Dalil tersebut harus mencakup informasi di mana suara tersebut hilang, apakah hilangnya merupakan sebuah kesengajaan, serta bagaimana terjadinya kehilangan suara.
“Jangan membuat dalil secara global, misalnya mengenai suara yang hilang tanpa menjelaskan di mana hilangnya, apakah di TPS tertentu atau saat rekapitulasi di kecamatan tertentu,” katanya.
Selain itu, dalil tersebut harus didukung dengan bukti-bukti yang valid, seperti dokumen salinan C hasil, D hasil, atau dokumen lainnya.
Bukti tersebut nantinya akan disandingkan dengan data yang ada di KPU daerah.
Sepanjang bukti yang disampaikan kuat dan tidak direkayasa, proses menghadapi perkara di MK dapat dijalani dengan tenang.
Bukti-bukti yang sudah ada perlu disajikan secara sempurna, baik berupa bukti surat maupun tulisan.
Hal ini menjadi penting sehingga tim hukum dan pasangan calon harus kuat, teliti, dan tabah dalam mempersiapkan bukti-bukti tersebut.
Proses penyelesaian sengketa di MK ini ibarat arena peperangan validitas bukti-bukti.
“Semuanya harus konkret dan valid agar dapat diandalkan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum atau kepala daerah. Bukti yang kuat akan menjadi penentu keberhasilan dalam perkara sengketa Pilkada di MK,” pungkas Teguh.
(Hendri/PasundanNews.com)