CIANJUR, PASUNDANNEWS – Memperingati Hari Jadi Kabupaten Cianjur (HJC) ke 343, kita mengulas sejarah Cianjur di masa lalu, dan tidak banyak yang mengetahui Cianjur sempat menjadi ibu kota Karesidenan Priangan sebelum ibu kotanya dipindahkan ke Bandung. Tak hanya itu tercatat beberapa Bupati Cianjur di masa lalu memiliki kemampuan luar biasa di masa Hindia Belanda.
Rachmat Fajar cicit R.A.Cicih Wiarsih menjelaskan dirinya mengakui Cianjur ini memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi di masa silam. Bahkan namanya pun harum di masa hindia belanda, jelas ini merupakan kebanggan tersendiri.
“Dulu istilah Priangan Barat atau West Preanger sendiri pertama muncul dalam karya literatur Hindia Belanda tahun 1819, yang menyebutkan bahwa ibu kota di Karesidenan Priangan ialah Cianjur. Namun pada tahun 1864 ibu kota Priangan dipindahkan ke Bandung untuk menghindari dampak negatif dari aktivitas vulkanik Gunung Gede,” jelasnya.
Diakuinya Cianjur, merupakan wilayah disegani di masa silam sehingga dengan berbagai potensi yang ada bisa menjadi ibu kota Priangan. Wilayah Priangan Barat sudah dikenal sejak zaman Hindia Belanda sebagai wilayah penghasil kopi dan teh karena tanahnya yang sangat subur. Selain itu sosok bupati terdahulu memiliki kharismatik dan pengaruh kepada wilayah lainnya, seperti halnya Bupati Prawiradiredja II bupati ke 7 Cianjur di tahun 1816, sudah menguasai bahasa melayu dan latin ketika bupati tanah jawa belum mampu menguasainya, hal ini terbukti dengan adanya kamus besar sunda melayu ada di arsip nasional.
“Uyut saya yaitu R.A.A.Prawiradiredja II (bupati Cianjur ke-10) yang lahir di Cianjur pada 21 April 1901, beliau merupakan sosok kharismatik dan disegani. Bahkan beliau sosok Bupati Cianjur yang terlibat bersama Tirto Adhi Soerjo dalam penerbitan surat kabar Soenda Berita dan Poetri Hindia yang merupakan berita bahasa melayu pertama,” ujarnya.
Diakuinya seorang bupati Cianjur terdahulu memerlihatkan beliau tidak hanya sekedar memimpin, namun memiliki keistimewaan. Tak sampai disitu R.A.A Prawiradiredja II mengajak warga Cianjur mencintai seni budaya yang menjadi nyawa Cianjur sehingga Cianjur punya identitas.
“Sebelumnya dalam babat tanah Cianjur Tumenggung Adipati Ariya Kusumaningrat atau lebih dikenal dengan nama Dalem Pancaniti, merupakan tokoh Cianjur yang menjabat sebagai Bupati Cianjur ke-VIII pada kurun waktu 1834-1864. Beliau tidak cukup memimpin pemerintahan namun menjadi panutan masyarakat yakni ulama. Sampai makna bait Cianjuran, banyak serapan dari ayat suci Al – Quran sehingga menjadi karya seni luhur dan melanglangbuana,” ujarnya.
Dijelaskannya dalem Pancaniti bertahun-tahun mendalami pantun Sunda, ia kemudian berhasil menggubah sajian kesenian itu bersama saudara-saudaranya. Pantun yang merupakan seni rakyat menjadi semacam seni vokal dengan iringan kacapi yang disesuaikan dengan peradaban lingkungan kaum menak.
“Kini kami di Bumi Ageung menyimpan berbagai peninggalan sejarah Cianjur, dan menjadi edukasi sejarah bagi masyarakat luas. Rumah budaya ini bisa memperkenalkan masyarakat terhadap sejarah dan keistimewaan Cianjur. Saya harapkan Cianjur ke depan bisa mempertahankan tata krama dan adat istiadat, sehingga kehidupan Cianjur bisa aman tentram. Tak hanya itu pemerintahan pun bisa mengayomi dan memimpin masyarakatnya dengan arif dan bijaksana,” tandasnya. (fhn/Pasundannews)