Oleh: Danial Fadhilah
PASUNDAN NEWS – Pandemi Covid-19 yang terjadi di seluruh Dunia, termasuk Indonesia yang terdampak dan menetapkan pandemic tersebut sebagai bencana nasional sebagaimana Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai Bencana Nasional.
Sebagaimana yang diketahui bahwa Pandemi Covid-19 memberikan dampak multi-sektoral, yang mana setidaknya masyarakat miskin adalah pihak yang paling dirugikan. Selain karena akses Kesehatan yang terbatas, dengan dibatasinya segala kegiatan yang mencakup berbagai sektor pekerjaan membuat masyarakat miskin kesulitan mendapatkan penghasilan untuk menghidupi diri dan keluarganya. Pada akhirnya mereka terjebak dalam dua pilihan, gugur karena terkena virus atau tetap mati karena kelaparan.
Setidaknya menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), di Indonesia terdapat 2,7 juta masyarakat miskin baru akibat pandemic Covid-19. Hal tersebut dapat disebabkan karena kebijakan yang tidak tegas dari awal, walaupun di sisi lain pemerintah meng-klaim bahwa sudah berupaya untuk menekan hal tersebut dengan bantuan sosial yang disalurkan kepada masyarakat.
Salah satu data yang bisa dilihat dari satu bantuan yaitu Dalam Keputusan Menteri Sosial Nomor 175 Tahun 2019 tentang Jumlah Keluarga Penerima Manfaat, Lokasi, Besaran Nilai, Dan Bahan Pangan Lokal Dalam Penyaluran Bantuan Pangan Non Tunai Tahun 2020, Diktum Kedua menyebutkan bahwa Jumlah Keluarga Penerima Manfaat berdasarkan data terpadu kesejahteraan sosial sebanyak 15.200.000 (Lima Belas Juta Dua Ratus Ribu) orang yang tersebar di berbagai wilayah.
Dengan total penerima manfaat dan anggaran hingga puluhan Trilyun yang dianggarkan oleh Negara untuk masyarakat miskin yang terdampak, masih saja ada bajingan yang dengan sengaja melakukan Tindakan Korupsi bantuan sosial covid-19. Kasus Bupati AA Umbara di Kabupaten Bandung Barat hingga kasus kelas kakap yang dilakukan oleh Juliari Batubara selaku Menteri Sosial adalah bukti nyata dari adanya Pemerkosa Bansos di Negeri ini.
Jika dilihat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara dan menghambat pembangunan. Terlebih dalam keadaan tertentu sebenarnya hukuman mati bisa diterapkan bagi koruptor tersebut. Namun dengan dalih yang disampaikan oleh para penegak hukum, pada akhirnya hukuman mati tersebut tidak diterapkan kepada para pemerkosa bansos.
Vonis 5 Tahun untuk AA Umbara dan 12 Tahun untuk Juliari Batubara dirasa tidak memberikan efek jera bagi pelaku lainnya. Masih banyak pemerkosa bansos di level daerah yang dengan gagahnya berani untuk memalsukan data penerima hingga pemotongan dari nominal yang seharusnya diterima oleh masyarakat miskin. Dalam penelusuran Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan harga yang tidak wajar dalam paket bantuan sosial untuk masyarakat miskin. Di JABODETABEK, BPKP menemukan sebesar Rp. 65,88 Milyar kelebihan pembayaran harga bahan pokok sembako.
Tak beda jauh dengan yang terjadi di Sukabumi, kami menemukan fakta di lapangan bahwa dugaan pemotongan bantuan sosial hingga dugaan data fiktif itu terjadi. Dan melalui tulisan ini, kami ingin menyampaikan pesan bahwa jika hal tersebut terbukti, maka pintu maaf bagi pemerkosa bansos akan terbuka ketika puluhan ribu orang masyarakat miskin yang terdampak bisa kaya secara mendadak dan mau membuka pintunya maafnya.
Bahkan menurut Pakar Hukum Pidana Universitas Bhayangkara Jakarta, Dr. Edi Hasibuan meminta agar para pelaku korupsi bansos penanggulangan dampak pandemic covid-19 dengan ancaman hukuman yang paling berat, termasuk hukuman mati. Dan hal tersebut selaras dengan wacana dari Jaksa Agung RI untuk memberikan hukuman mati kepada Koruptor. Maka dari itu, sudah selayaknya para Koruptor, terkhusus bagi para pemerkosa bansos covid-19 agar bisa mendapat ganjaran yang setimpal demi terciptanya kepastian hukum dan negara yang bebas dari tindakan-tindakan korupsi.