Dana Aspirasi DPRD Jabar seperti Politik Gentong Babi di Amerika, Harus di Moratorium
Dana Aspirasi DPRD Jabar seperti Politik Gentong Babi di Amerika, Harus di Moratorium

Pasundannews – Lima Ormawa Jawa Barat yang terdiri dari HMI, GMKI, PMKRI, KAMMI, dan HIKMAHBUDHI menggelar Forum Grup Discusion (FGD) bertema “Cegah Korupsi di DPRD Jawa Barat: Format Ideal Proses Perumusan dan Penggunaan Alokasi Dana Pokok-Pokok Pikiran Anggota DPRD Jabar”, Kamis (8/7/2021).

FGD yang di laksanakan secara virtual itu merupakan salah satu rangkaian FGD dalam rangka membuat Policy Papper. Hal itu bertujuan memberikan masukan kepada pemerintah terkait fenime skandal mega korupsi alokasi dana pokok–pokok pikiran di DPRD Jabar.

Dra. Mudiyati Rahmatunnisa, MA., Ph.D yang merupakan Ketua Program Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (UNPAD). Mengapresiasi lima organ mahasiswa yang mengambil langkah Ilmiah Sicientific Approach dalam melihat suatu permasalahan. Kemudian nanti ada output kegiatanya berupa alternatif policy papper.

“Ini saya lihat di buat dan di susun setelah melalui proses proses akademik. Dan ini menjadi sumbangsih yang hasilnya harus diapresiasi. Bukan sekedar turun kejalan tapi memiliki konsep. Menurut saya merupakan alternative yang harus di apresiasi,” kata Mudiyati.

Menurut Mudiyati yang merupakan lulusan Master dan Doctoral Australia tersebut. Masalah dana aspirasi atau pokok pokok pikiran ini bukan menjadi hal baru di Indonesia. Di beberapa daerah persoalan korupsi dana aspirasi sudah pernah terjadi. Seperti kasus di DPRD Kota Padang, DPRD Tenggralek, DPRD Kota Malang.

“Dana Aspirasi mirip seperti Pork Barrel Politics atau Politik Gentong Babi yang berawal dari negara Amerika yang sudah terjadi dari tahun 1979 sampai sekarang. Atau mirip seperti Constituency Development Fund (CDF) atau dana pembangunan konstituen merupakan dua istilah yang memiliki akar sejarah dan latar belakang yang berbeda namun memiliki kemiripan. CDF ini terjadi di Negara-negara berkembang,” Tuturnya.

Mudiyati menjelaskan bahwa Pork Barrel Politics merupakan pengeluaran yang di usulkan politisi untuk konstituennya. Sebagai imbalan atas dukungan politik dalam bentuk kampanye atau dukungan suara. Dengan tujuan mereka terpilih kembali, ini motifnya.

Lanjut Mudiyati, sampai saat ini, pork barrel politics di Amerika Serikat masih menjadi kontroversi yang mendapatkan sorotan. Karena sering kali tidak wajar dan lebih mengedepankan politik transaksional.

Bahkan CAGW (Citizens Against Government Waste) menyebut pork barrel politics tersebut sebagai perampokan yang terjadi dari tahun ke tahun ketahun.

Sementara CDF sendiri merupakan skema desentralisasi anggaran yang berasal dari pusat ke daerah berbasiskan konstituen (daerah pemilihan) untuk pembelanjaan proyek-proyek pembangunan sesuai kebutuhan pada level lokal.

“Banyak syarat aturannya tidak bisa gelondongan begitu saja. Banyak sekali regulasi sebagai koridor yang harus di ikuti secara tepat ketika mengelola dana CDF ini. Dengan kontrol yang begitu ketat dan transparan. Walaupun ini juga cukup banyak mendapat krtikitan,” jelasnya.

Pork barrel politics dan CDF memiliki kemiripan dengan model dana aspirasi DPR yang diatur berdasarkan UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 dan Peraturan DPR No. 4 Tahun 2015. Dengan demikian, jika dana aspirasi direalisasikan, maka berbagai macam implikasi yang terjadi di negara-negara yang mempraktikkan pork barrel politics dan CDF pun sangat mungkin terjadi di Indonesia.

“Misalnya berkaitan dengan tumpang tindihnya kewenangan dalam penyusunan anggaran negara. Sehingga DPR akan berada pada posisi yang ambigu, di satu sisi ikut membahas, namun sekaligus mengusulkan dengan previllege khusus (karena sudah di jatah besaran dana setiap anggota DPR). Serta memberikan persetujuan, di sisi lain juga harus menjalankan dan mengawasi penggunaan anggaran tersebut,” ujarnya.

Menurut Midiyati, hal ini tentu menimbulkan problem ketatanegaraan. Khususnya berkaitan dengan prinsip pemisahan kekuasaan maupun checks and balances. Selain itu, dana aspirasi DPR sangat mungkin menjadi lahan untuk patronase politik yang membuat perpolitikan menjadi tidak sehat.

“Dana aspirasi atau Dana Pokok-pokok pikiran Anggota Dewan di Indoensia harus di moratorium karena banyak sekali madorotnya,” tegasnya.

Sementara itu, Ahmad Jundi Khaifatullah, Ketua Umum PW KAMMI Jabar mengatakan bahwa FGD tersebut bukan yang terakhir.

“Kedepan kita akan undang pakar lain untuk memberi masukan untuk mencari jalan keluar bagaimana memperkuat sistem agar tidak mudah terjadi korupsi seperti kasus di Indramayu,” katanya.

Khoirul Anam Gumilar Winata, Ketua Umum Badko HMI Jawa Barat menambahkan bahwa pihaknya akan segara merampung policy papper agar dana aspirasi DPRD Jabar dapat di peruntukkan dengan semestinya.

“Kami akan segera merampungkan policy papper tentang bagaimana format ideal yang seharusnya dana aspirasi itu di kelola atau memang harus moratorium atau di stop. Kita akan terus kaji, dengan mengundang beberapa pakar dan praktiksi yang kompeten. Dan tentunya akan kita sampaikan kepada kemendagri, DPR RI, Gubernur Jawa Barat, DPRD Jawa Barat, dan pihak pihak terkait,” Pungkas Anam.

*Angga*