Bahasa orang sunda
Tarian Sunda (masbebet christianto dari Pixabay)

PASUNDANNEWS Bahasa Sunda ialah bahasa yang di ciptakan serta di gunakan oleh orang Sunda dalam bermacam keperluan komunikasi kehidupan mereka.

Tidak di kenal kapan bahasa ini lahir, namun dari fakta tertulis yang menggambarkan penjelasan tertua. Berupa prasasti berasal dari abad ke- 14.

Prasasti di artikan di temukan di Kawali Ciamis. Serta di tulis pada batu alam dengan memakai aksara serta Bahasa Sunda (kuno). Di perkirakan prasasti ini terdapat beberapa buah serta terbuat pada masa pemerintahan Prabu Niskala Wastukancana (1397- 1475).

Salah satu bacaan prasasti tersebut berbunyi:

“Nihan tapak walas nu siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawali. Nu mahayuna kadatuan Surawisésa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur sakala désa. Ayama nu pandeuri pakena gawé rahayu pakeun heubeul jaya dina buana.”

(inilah aset mulia, sangat aset Eyang Prabu Adipati Wastukentjana yang bertakhta di Kota Kawali. Yang memperindah keraton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekitar ibukota, yang menyejahterakan segala negara. Mudah- mudahan terdapat yang tiba setelah itu menyesuikan diri berbuat kebajikan supaya lama berjaya di dunia).

Bisa di tentukan kalau Bahasa Sunda sudah di gunakan secara lisan oleh warga Sunda jauh saat sebelum masa itu. Bisa jadi sekali Bahasa Kw’un Lun yang di ucap oleh cerita Tiongkok. Serta di gunakan sebagai bahasa obrolan di daerah Nusantara saat sebelum abad ke-10 pada warga Jawa Barat rasanya merupakan Bahasa Sunda (kuno). Meski tidak di kenal bentuknya.

Jejak Penggunaan

Fakta pemakaian Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, banyak di temukan lebih luas dalam wujud naskah. Di tulis pada daun (lontar, enau, kelapa, nipah) yang berasal dari era abad ke- 15 hingga dengan 180. Sebab lebih gampang metode menulisnya, hingga naskah lebih panjang dari pada prasasti. Sehingga perbendaharaan katanya lebih banyak serta struktur bahasanya juga lebih jelas.

Contoh bahasa Sunda yang di tulis pada naskah merupakan selaku berikut:

Berupa prosa pada Kropak 630 bertajuk Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518).

  • Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) “Jaga rang héés tamba tunduh, nginum twak tamba hanaang. Yyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring ku hanteu” (Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk. Minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!)
  • Berbentuk puisi pada Kropak 408 berjudul Séwaka Darma (abad ke-16) “Ini kawih panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma. Ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang sisya, nu huning Séwaka Darma” (Inilah Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut. Namanya penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).

Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu banyak di masuki kosakata dan di pengaruhi struktur Bahasa Sanskerta dari India. Setelah masyarakat Sunda mengenal. Kemudian menganut Agama Islam, dan menegakkan kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad ke-16. Hal ini merupakan bukti tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda.

Di dalam naskah itu terdapat 4 kata yang berasal dari Bahasa Arab yaitu duniya, niyat, selam (Islam), dan tinja (istinja). Seiring dengan masuknya Agama Islam kedalam hati dan segala aspek kehidupan masyarakat Sunda. Kosa kata Bahasa Arab kian banyak masuk kedalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak di rasakan lagi sebagai kosakata pinjaman.

Kata-kata masjid, salat, magrib, abdi, dan saum, misalnya telah di rasakan oleh orang Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya sendiri. Pengaruh Bahasa Jawa sebagai bahasa tetangga dengan sesungguhnya sudah ada sejak Zaman Kerajaan Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan bahasanya.

Pada Abad ke-11

Paling tidak pada abad ke-11 telah di gunakan Bahasa dan Aksara Jawa dalam menuliskan Prasasti Cibadak di Sukabumi. Begitu pula ada sejumlah naskah kuno yang di temukan di Tatar Sunda di tulis dalam Bahasa Jawa, seperti Siwa Buda, Sanghyang Hayu.

Namun pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat Sunda sangat jelas tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini.

Pada masa itu fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum elit terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa di jadikan bahasa resmi di lingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk Basa dan kosa kata Jawa masuk pula kedalam Bahasa Sunda mengikuti pola Bahasa Jawa yang di sebut Unggah Ungguh Basa.

Dengan penggunaan penggunaan tingkatan bahasa terjadilah stratifikasi social secara nyata. Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap di gunakan sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari-hari masyarakat Sunda. Bahkan di kalangan masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih tetap keberadaannya, terutama untuk menuliskan karya sastera WAWACAN dengan menggunakan Aksara Pegon.

Sejak pertengahan abad ke 19 Bahasa Sunda mulai di gunakan lagi sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk penulisan karya sastera. Pada akhir abad ke 19 mulai masuk pengaruh Bahasa Belanda dalam kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan aksara Latin sebagai dampak di bukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah.

Pada awalnya kata BUPATI misalnya, di tulis boepattie seperti ejaan Bahasa Sunda dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara Latin (1912) yang di buat oleh orang Belanda. Selanjutnya, masuk pula kosakata Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam, masinis, buku dan kantor.

Dengan di ajarkannya di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa komunikasi antar etnis dalam pergaulan masyarakat, Bahasa Melayu juga merasuk dan mempengaruhi Bahasa Sunda.

Bercampurnya Bahasa sunda dengan Melayu

Apalagi setelah dinyatakan sebagai bahasa persatuan dengan nama Bahasa Indonesia pada Tahun 1928. Sejak tahun 1920-an sudah ada keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda, bahwa telah terjadi Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda bercampur Bahasa Melayu.

Sejak tahun 1950-an keluhan demikian semakin keras karena pemakaian Bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa Indonesia terutama oleh orang-orang Sunda yang menetap di kota-kota besar, seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun. Banyak orang Sunda yang tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari di rumah mereka.

Walaupun begitu, tetap muncul pula di kalangan orang Sunda yang dengan gigih memperjuangkan keberadaan dan fungsionalisasi Bahasa Sunda di tengah-tengah masyarakatnya dalam hal ini Sunda dan Jawa Barat.

Dengan semakin banyaknya orang dari keluarga atau suku bangsa lain atau etnis lain yang menetap di Tatar Sunda kemudian berbicara dengan Bahasa Sunda dalam pergaulan sehari-harinya. Karena itu, kiranya keberadaan Bahasa Sunda optimis bakal terus berlanjut.

Sumber: bandungnews.id