Ripal Rinaldi
Cemerlang Syndicate
Beberapa waktu ke belakang masyarakat kabupaten sukabumi dibuat ramai dengan kemunculan foto pertemuan pasangan Marwan – Iyos dengan mantan bupati sukabumi 2 periode Sukmawijaya di media sosial facebook. Beberapa ada yang menyambut positif terlebih dari simpatisan Petahana dan beberapa lain menjadi pengamat politik dadakan yang memberikan analisis bahwa pasangan ini bisa memenangkan pilkada dengan mudah, sementara para pendukung lawan politik petahana yaitu pendukung F2 (wakil bupati) menyikapi proses pertemuan itu tidak mengindahkan protokol kesehatan Covid-19 ditengah pandemi.
Dalam tulisan ini saya tidak ingin menjadi pengamat politik dadakan menjelang pilkada sukabumi 2020 dengan memberikan analisa bagaimana nanti peta politik yang akan terbentuk jika sang petahana Marwan Hamami berpasangan dengan Iyos Soemantri. Tapi saya hanya ingin memberikan kritik terhadap Iyos Soemantri yang masih berstatus Birokrat.
Akhir tahun 2019 sampai awal tahun 2020 kita juga sempat di hebohkan dengan pencalonan Birokrat sukabumi sebagai Bakal Calon kepala daerah, Sofyan Effendi namanya, mantan kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang sempat mendaftar kesalahsatu partai di Sukabumi yang membuka penjaringan Bakal Calon Kepala Daerah, bahkan nama sofyan effendi sampai hari ini masih disodorkan oleh partai lain sebagai bakal calon wakil kepala daerah bersama Ketua KONI Sirodjudin.
Pemerintah sudah mengeluarkan larangan-larangan tentang PNS yang berpolitik dari mulai UU No 5 tahun 2014 tentang ASN , UU no 10 tahun 2016 tentang PILKADA , Peraturan Pemerintah No. 53/2010 tentang Disiplin PNS dan PP N0. 42 tahun 2020 tentang pembinaan jiwa korps dan kode etik PNS. Beberapa larangan tersebut diantaranya larangan untuk melakukan pendekatan terhadap partai politik terkait pilkada, memasang baligho calon kepala daerah, larangan mendeklarasikan diri sebagai calon, larangan menghadiri deklarasi calon, larangan foto bersama dengan calon kepala daerah, dan larangan menyebarluaskan gambar foto calon melalui media sosial. Pelanggaran terhadap larangan tersebut akan dikenakan sanksi dari sanksi administratif, penundaan kenaikan gaji berkala sampai pemberhentian sebagai ASN.
Baik Iyos Soemantri ataupun Sofian Effendi adalah Birokrat, publik juga sudah menganggap mereka berdua akan mewarnai Pilkada Sukabumi sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah atau dalam arti lain publik juga sudah menilai bahwa mereka sudah berpolitik dengan statusnya sebagai birokrat yang notabene harus netral dalam politik.
Dari kedua nama tersebut sepertinya hanya Sofyan Efendi yang di kritik oleh publik tentang statusnya sebagai birokrat bahkan berujung pada pemanggilan dirinya oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk dimintai keterangan.
Birokrat dalam perpolitikan Sukabumi bukanlah hal yang baru, bahkan dari setiap momentum pilkada sukabumi sejak era demokrasi langsung, birokrat selalu mewarnai proses politik tersebut, bahkan 2 dari 3 pilkada langsung yang terlah diselenggarakan oleh Pemkab Sukabumi dimenangkan oleh birokrat.
Namun yang perlu kita sadari bahwa dulu dan sekarang kondisi sudah beda, upaya untuk menjauhkan abdi negara dari pengaruh politik sebagai bagian dari amanat reformasi terus diperbaharui. Maka jika ada abdi negara yang ingin berpolitik diharuskan terlebih dahulu mengundurkan diri sebagai abdi negara.
Kembali ke kasus Iyos dan Sofyan, saya berharap kita bisa berlaku adil bahkan para pengawas pemilu pun harus adil. Komunikasi yang dilakukan Iyos Soemantri dengan beberapa Elit politik sukabumi tidak jauh berbeda dengan komunikasi yang dilakukan oleh Sofyan Efendi kepada Partai Politik, yaitu dalam rangka Momentum Politik Pilkada yang sudah jelas menjadi larangan bagi birokrat, apalagi status Iyos Soemantri sebagai Bos nya birokrat sukabumi harus bisa memberi contoh yang baik bagi bawahannya.
Kalaupun yang dilakukan Iyos Soemantri itu bukanlah Komunikasi Politik, alangkah lebih baiknya ada penjelasan dari ia agar publik tidak bertanya-tanya dan memberikan ekses buruk terhadap korps yang ia pimpin.