Oleh:

Yanu Prasetyo*

INILAH topik terpanas di Amerika Serikat hari ini. Sampai tulisan ini dibuat, pemerintahan federal AS masih lumpuh. “Government Shutdown” istilahnya. Kondisi dimana lembaga pemerintah federal tidak beroperasi untuk sementara dan tentu saja tidak bisa menggaji para pegawainya yang berjumlah lebih dari delapan ratus ribu orang itu. Keputusan ini diambil karena terjadi kebuntuan antara eksekutif dan Kongres dalam pengesahan anggaran baru. Dipicu oleh keinginan sang presiden, Donald Trump, untuk membangun tembok di sepanjang perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko. Seperti diketahui, Amerika serikat memiliki dua perbatasan darat utama. Utara dengan Kanada, selatan dengan Meksiko. Beberapa bulan terakhir, krisis ekonomi dan kemanusiaan di Amerika latin, yaitu negeri-negara tetangga AS, sedang memuncak. Seperti di Venezuela, El Salvador, Honduras, dan Guatemala. Dimana perang antar geng, kartel narkoba, dan hyperinflasi mendorong krisis ekonomi, krisis politik, dan krisis keamanan terjadi. Hal ini memaksa ribuan bahkan jutaan orang tua, perempuan, dan anak-anak harus mengungsi keluar negaranya. Salah satu tujuan para pengungsi itu tentu saja Amerika Serikat. The land of freedom and opportunity. Negeri yang diharapkan bisa memberikan peluang kehidupan yang lebih aman dan lebih baik bagi masa depan mereka.

Sayangnya, harapan itu nampaknya hanya bertepuk sebelah tangan di bawah rezim pemerintahan Trump. Berbeda halnya dengan Pemerintah negara Colombia yang membuka akses pintu perbatasannya lebar-lebar untuk satu juta pengungsi Venezuela. Pemerintah AS berupaya keras untuk menutup pintu perbatasannya itu. Bahkan, pemerintahan Trump berupaya terus menggiring publik bahwa sedang terjadi “krisis” luar biasa di perbatasan AS-Meksiko yang mendorong pemerintahannya mengambil kebijakan darurat. Pemerintah menggunakan konvoi ribuan pengungsi (migrant caravan) dari Central America yang sedang meminta suaka itu sebagai isu untuk mendapatkan dukungan pada proposal mereka. Tak tanggung-tanggung, dalam proposalnya pemerintah AS ingin membangun dinding atau tembok besar yang membentang sepanjang garis perbatasan. Panjangnya kurang lebih 2.000 mil atau sekitar 3.100 km! Bandingkan dengan tembok Berlin yang dulu pernah dibangun untuk memisahkan Jerman Timur dan Barat yang panjangnya hanya sekitar 96 mil. Artinya, panjang tembok Amerika lebih dari dua puluh kali lipatnya.

Estimasi biaya pembangunan “Trump Wall” ini juga tidak tanggung-tanggung. Mencapai total 70 milyar dolar untuk pembangunannya (berapa itu nol-nya kalau dirupiahkan ya?). Angka dari internal pemerintah menunjukkan mereka memerlukan 25 juta dolar/mil untuk biaya pembangunannya. Entah mana angka yang paling benar. Itu pun baru untuk pembangunannya. Konon, diperlukan pula 150 juta dolar per tahun untuk biaya perawatannya. Sikap keras kepala Gedung Putih untuk membangun tembok kongkrit ini tentu ditentang keras oleh oposisi. Partai Demokrat, mengusulkan teknologi yang dianggap lebih realistis dibanding membangun tembok yang tidak mungkin selesai dalam lima atau tujuh tahun itu. Mereka lebih setuju untuk menggunakan teknologi terkini seperti memperbanyak drone, meningkatkan jumlah polisi yang patroli di perbatasan, teknologi kamera pengawas, dan lain-lain. Perlu dicatat, perbatasan AS-Meksiko di selatan tidak semuanya berpenghuni. Sebagian berupa padang pasir, gunung batu, sungai dan medan-medan sulit lainnya. Disamping itu, menggelontorkan milyaran dolar untuk tembok dianggap kurang waras ditengah banyaknya warga AS yang sedang mengalami kesulitan ekonomi dan akses terhadap kesehatan yang terus memburuk. Maka terjadilah government shutdown di atas tadi.

Ngototnya Trump memang bukan hal baru. Jauh ketika masa kampanye pilpres 2016 lalu, Trump sudah yakin akan cita-citanya untuk membangun tembok besar pembatas AS-Meksiko itu. Bahkan, ini termasuk “program unggulan” dalam kampanyenya sebagai capres. Setelah terpilih menjadi presiden, obsesi sang pebisnis properti terhadap dinding kongrit ini pun semakin menjadi. Ia sering menyampaikan kepada pendukungnya dalam siaran TV maupun pidato langsung bahwa Meksiko akan ikut membayar biaya pembangunan dinding tersebut. Hasilnya, semua biaya ternyata dibebankan kepada warga AS selaku pembayar pajak. Tentu kebohongan ini juga membuat marah sebagian publik AS.

Hubungan AS-Meksiko dalam hal perbatasan dan imigrasi memang senantiasa dalam ketegangan. Pasalnya, banyak imigran gelap yang dengan berbagai cara berhasil masuk dan menembus perbatasan AS. Meski banyak pula yang gagal, tertangkap, atau mati di tengah jalan karena cuaca ekstrim. Beberapa kasus imigran gelap yang melakukan tindakan kriminal di AS terus dijadikan retorika oleh pemerintah dan media pro-pemerintah untuk membangun wacana krisis perbatasan dan perlunya kebijakan imigrasi darurat ini. Tentu publik Amerika kembali terbelah seperti biasanya. Terasa ketegangan di internal AS antara politisi dan media yang terus mengakumulasi “ketakutan” publik dengan mereka yang masih berupaya optimis. Politisasi isu perbatasan ini pun nampaknya tidak hanya memakan korban dari luar – yaitu nasib para pencari suaka – namun juga telah melukai warga AS sendiri, yaitu mereka yang terdampak langsung oleh government shutdown dan rasa aman yang menjadi terus terusik. Jika rasa aman sudah terusik, warga sulit tidur nyenyak. Maka, kemungkinan terburuk dari kemarahan, frustasi, dan kebencian yang “salah arah” itu pun semakin ngeri untuk dibayangkan. Yang tidak disadari, sejarah membuktikan bahwa biaya sosial dari disintegrasi dan dampak kebencian serta kemarahan warga ini bisa lebih mahal dari biaya pembangunan tembok itu sendiri.

Melihat kebuntuan demi kebuntuan yang ada, sepertinya kita masih harus bersabar menunggu bagaimana dan kemana kelanjutan proses politik dari “krisis” perbatasan AS-Meksiko ini akan mengalir? Beberapa jam yang lalu, setelah pertemuan darurat dengan beberapa petinggi partai oposisi, cuitan Donald Trump semakin menunjukkan bahwa krisis perbatasan dan pemerintahan federal ini masih akan berlanjut. Bahkan diperkirakan akan memecahkan rekor sebagai government shutdown terlama dalam sejarah pemerintah AS jika nanti melewati 16 hari. Rekor shutdown terlama itu dimiliki pemerintahan Obama pada tahun 2013.  (*)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini