Ari Muhammad Syafari, Kader HMI Cabang Kabupaten Bandung. (foto: Istimewa)

Oleh : Ari Muhammad Syafari (Kader HMI Cabang Kabupaten Bandung)

“Kunci pemikiran harus diletakkan pada fungsionalisasi Islam dalam kreatifitas pribadi-pribadi kita bukan lagi status ajaran Islam dalam kehidupan kita!”

-Ahmad Wahid-

PASUNDANNEWS.COM – Berbicara tentang hakikat manusia memang tidak ada habisnya. Tetapi yang unik dari manusia itu sendiri, tiap-tiap individu memiliki coraknya masing-masing. Corak individu setidaknya diciptakan oleh pola pikir mereka. Hal inilah yang menyebabkan manusia menjadi beda dari mahkluk lainnya.

Tata letak manusia itu bisa menonjolkan eksistensinya ketika ia berpikir. Manusia bebas berpikir tentang apa saja yang mereka inginkan. Tetapi pada realitanya praktik bepikir selama ini, kita tidak berpikir bebas lagi, bila menilai sesuatu kita sudah bertolak dari suatu asumsi bahwa ajaran Agama-lah yang harus mutlak kita ikuti.

Disini saya bukan berarti mengkerdilkan ajaran Agama, tapi saya berusaha menerjemahkan pendapat pembuka diatas dari Ahmad Wahid, dan semoga menjadi sebuah cakrawala pengetahuan bagi kita.

Mungkin sebagian dari kita pernah diminta agar ketika berpikir harus pada dalam batas-batas Tauhid, sebagai konklusi globalibalitas ajaran Agama. Menurut Ahmad Wahid, Aneh mengapa berpikir hendak dibatasi? Apakah Tuhan itu takut akan rasio, terhadap rasio yang diciptakan oleh Tuhan sendiri? Ia mengatakan, Saya percaya Tuhan, tapi Tuhan bukanlah daerah terlarang bagi pemikiran. Tuhan bersifat wujud bukan kebal dari sorotan kritik. Sesungguhnya orang yang mengakui ber-Tuhan, tapi menolak berpikir bebas –berarti- menghina rasionalitas eksistensinya. Itu katanya.

Dalam tulisan ini saya, bukan berarti akan memunculkan teologis atau ajaran baru, akan tetapi saya sangatlah prihatin akan kondisi muslim saat ini yang jumud dengan pemikirannya. Mari kita renungkan! Banyak orang yang selalu mengagungkan Islam itu agama paling benar, tetapi sedikit orang yang bisa merasionalkannya. Banyak orang yang mengaku paling bertauhid tetapi sedikit orang yang bisa mengimplementasikan ketauhidannya.

Bahkan kita sendiri baru tau Islam dari ulama, Islam menurut HAMKA, Islam menurut Natsir, Islam menurut Abduh, Islam menurut Ahmad Hasan, Islam menurut Hasyim Asy’ari, Islam menurut Ahmad Dahlan, Islam menurut ahli tasawuf dan Islam menurut tokoh lainnya. Tapi kita sendiri minim mengartikan Islam menurut kita sendiri.

Saya meyakini Tuhan itu ada, dan saya mencoba untuk membuktikan adanya Tuhan tersebut. Sehingga dalam perjalanan hidup saya tidak semu. Saya akan mengfungsikan akal yang diberikan Tuhan. Sehingga saya tau bahwa Tuhan benar-benar menciptakan akal dengan pemikirannya.

Bahkan Ahmad Wahid mengatakan “Kalau betul-betul Islam itu membatasi kebebasan berpikir, sebaiknyalah saya berpikir lagi tentang anutan saya terhadap Islam. Maka saya ada dua alternatif yaitu menjadi muslim sebagian atau setengah-setengah atau malah menjadi kafir. Namun sampai saat ini saya masih berpendapat bahwa Tuhan tidak membatasi, dan Tuhan akan bangga dengan otak saya yang selalu bertanya, tentang Dia. Saya percaya Tuhan itu segar, hidup, tidak beku. Dia takkan pernah mau dibekukan”.

Dalam ayat suci pun Tuhan beberapa menyebutkan “Sesungguhnya orang-orang yang menerima pelajaran itu ialah orang yang berakal”. Interpretasinya begitu mulianya manusia ketika menggunakan akalnya untuk berpikir. Ahmad Wahib pun mengatakan “Orang-orang yang berpikir itu, walaupun hasilnya salah, masih jauh lebih baik daripada orang yang tidak pernah salah, karena tak pernah berpikir. Dan saya pun tak mengerti mengapa orang begitu phobi dengan pemikiran bebas”. Ucapnya

Maksud dalam tulisan saya ini, saya akan mengajak kepada pembaca yang budiman agar terus mengaktifkan akalnya agar terus berpikir. Menikmati anugerah ciptaan Tuhan, yang tidak dimiliki mahkluk lainnya. Menggunakan daya nalar tersebut, kearah yang lebih positif sehingga, hemat saya “Manusia dapat dikatakan manusia, apabila manusia sendiri dapat terus mengaktifkan akalnya untuk berpikir”.

Disamping itu, dalam proses berpikir harus menghasilkan peningkatan pola pikir. “Proses=Progres”. Sehingga tidak ada kata ketika kita berpikir kita merasa stagnan dalam pemikiran. Maka itu akalnya tidak berproses dengan baik atau bisa disebut akalnya tidak aktif.

Didalam individu manusia memiliki sebuah hasrat untuk menjadi lebih baik. Kunci untuk mengimplementasikan hastratnya itu ada pada individunya sendiri. Karena corak individu ditentukan dengan pola pikir mereka. Baik-buruknya hidup manusia tergantung kapasitas berpikir mereka, yang akhirnya manusia akan hidup layaknya manusia tergantung pada sisi berpikir mereka. Sehingga hasratnya akan sampai, ketika ia puas dengan alam pemikiran mereka yang bisa bermanfaat.

Menjadi manusia tidaklah cukup dengan aktivitas-aktivitas normal, kadang kita harus menjadi gila alias beda dengan kebanyakan manusia normal. Gila membaca buku, gila diskusi, gila menulis, gila mengkritik, gila akan ilmu pengetahuan, gila yang menjadikan manusia itu memiliki corak dengan sendirinya. Asalkan jangan Gila beneran.

“Sehingga manusia itu hidup dengan potensi yang dimilikinya, dan cakrawalanya pun akan terbukakan”
-Ari Muhammad Syafari-

Referensi:
– Pergolakan Pemikiran Islam (Catatan Harian Ahmad Wahib)