Anggota Bawaslu Kabupaten Ciamis, Jajang Miftahudin, M.Pd. Foto/Istimewa

OPINI, PASUNDANNEWS.COM – Sistem pemilu yang digunakan di Indonesia sejak tahun 1955 sampai dengan 2019 sangatlah variatif.

Dalam memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) misalnya, sistem yang digunakan adalah sistem proporsional.

Sedangkan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menggunakan sistem distrik berwakil banyak.

Dalam perkembangannya, pemilu di Indonesia menggunakan sistem pemilu proporsional dengan daftar. Terutama dalam memilih anggota DPR dan DPRD.

Partai politik menunjukan para kandidatnya kepada Rakyat. Kemudian partai politik mendapatkan suara keseluruhan secara nasional.

Sistem Proporsional dengan daftar, terbagi menjadi dua, tertutup dan terbuka. Proporsional tertutup adalah partai politik memiliki beberapa daftar kandidat yang akan tentukan menjadi menjadi anggota legislatif oleh partai.

Sedangkan dalam proporsional terbuka, partai politik memasang seluruh kandidat. Tidak ada nomor prioritas.

Seluruh kandidat memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan pemilu. Para kandidat dipilih langsung oleh rakyat bukan partai.

Dalam pemilihan presiden, kita menggunakan sistem pemilihan langsung. Hal ini merupakan amanat dari amandemen uud 1945.

Sedangkan sebelumnya presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Dasar Hukum Sistem Pemilu Proporsional

Dasar hukum yang menjadi landasan pemilu dan sistem pemilu adalah UUD 1945 pasal 22E, pemilihan umum laksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Untuk memilih anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam pasal ini yang dapat menjadi peserta pemilu adalah partai politik untuk DPR dan DPRD, sedangkan untuk DPD adalah perseorangan.

Bagi calon presiden dan wakil presiden dapat menjadi peserta pemilu apabila didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik.

Dalam hal presiden dan wakil presiden, sebelum amandemen tidak ada batasan masa jabatan.

Setelah amandemen UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa masa jabatan presiden dan wakil presiden adalah 5 tahun dan dapat dipilih lagi 1 kali.

Artinya presiden dan wakil presiden dapat menduduki masa jabatan selama dua periode bukan tiga periode.

Pilihan terhadap sistem pemilu harus memperkuat kedaulatan rakyat. Apabila sekarang kita dihadapkan dengan pilihan-pilihan.

Maka pilihan yang kita pilih adalah pilihan yang mengutamakan akses rakyat untuk menentukan.

Menakar Sistem Pemilu Proporsional Tertutup

Ada tiga hal yang harus menjadi pertimbangan saat memilih sistem pemilu. Baik proporsional terbuka ataupun tertutup.

Pertama, setiap sistem pemilu memang memiliki kelebihan dan kekurangan. Tetapi, kalau kita membaca kondisi saat ini, tahapan penyelenggaraan pemilu telah berjalan.

Tahapan yang sedang berjalan di desain untuk proporsional terbuka. Maka akan kontra produktif apabila di tengah-tengah tahapan penyelenggaraan pemilu, terjadi gonta ganti sistem.

Kedua, walaupun sistem pemilu yang digunakan dunia ini beragam. Tetapi ada prasyarat yang perlu dipertimbangkan dalam memilih sistem pemilu. Beberapa prasyarat tersebut diantaranya adalah konteks politik, budaya dan hukum.

Pilihan sistem pemilu merupakan hasil kesepakatan dari seluruh pemangku kepentingan. Kesepakatan yang dihasilkan akan mempengaruhi model kampanye, akuntabilitas pendanaan, akses pemilih kepada surat suara.

Dengan demikian, menyerahkan keputusan mengenai sistem pemilu kepada Mahkamah Konstitusi merupakan sesuatu yang tidak tepat.

Ketiga, apabila akan melakukan evaluasi kepada sistem pemilu yang saat ini sedang digunakan, maka lakukan evaluasi secara komprehensif.

Selain itu perlu mempertimbangkan dampak pada manajemen pemilunya, aktor-aktor pemilu, penegak hukum dan juga perilaku pemilihnya.

Memperbaiki atau Kembali Pada Masa Lalu Proporsional tertutup

Sistem pemilu tertutup dipilih oleh negara-negara untuk mendekatkan dengan pemilih yaitu dengan pemilu secara internal partai.

Hal itu agar kedaulatan berada pada anggota partai ketika menentukan siapa yang akan masuk pada nomor urut.

Sehingga ada ikatan kuat antara partai dengan orang yang diusung partai pada sistem proporsional tertutup.

Apabila saat ini pilihan hanya dilihat pada tutup atau bukanya saja, tanpa menghitung akses anggota partai, pemilih yang berafiliasi dengan partai. Maka sama saja mundur ke masa lalu.

Pada sistem tertutup, masyarakat memilih gambar partai. Sehingga orang-orang yang berkepentingan adalah kader-kader pada nomor jadi.

Sehingga wakil yang dihasilkan adalah kader-kader jenggot, yaitu yang mengakar ke atas, kaum elit bukan ke bawah, masyarakat.

Memang pada proporsional tertutup yang diuntungkan adalah partai besar. Partai yang secara kelembagaan kuat. Maka yang di up adalah simbol partai.

Sedangkan pada sistem proporsional terbuka, para calon dituntut untuk bekerja sekuat tenaga untuk mendapatkan suara. Karena hak pemilih memiliki hak veto untuk menentukan siapa yang dia pilih.

Apabila hari ini menggunakan sistem tertutup, maka hak veto dari pemilih menjadi tidak ada. Sedangkan pada proporsional terbuka, partai politik memiliki peran menentukan nomor urut, tetapi pemilih tetap memiliki hak veto, siapa caleg yang akan dia pilih.

Situasi ini tidak akan tercipta, apabila menggunakan sistem tertutup. Sistem pemilu tersebut akan sangat mengandalkan branding partai yang dianggap kuat dan struktur yang mengakar sampai ke tingkat bawah.

Penggantian Sistem Pemilu 2024 Dianggap kurang Tepat

Dalam penyelenggaraan pemilu 2024, mengganti sistem pemilu merupakan pilihan yang tidak tepat.

Karena dalam kompetisi itu ada prinsip predictable process and unpredictable result (proses yang dapat diprediksi dan hasil yang tidak dapat diprediksi).

Prosedur pemilu itu harus pasti sejak awal untuk memastikan para peserta pemilu dapat mengantisipasi mempersiapkan proses kompetensi. Kalau ganti tengah jalan ini keluar dari prinsip keadilan pemilu.

Apabila MK mengabulkan judicial review mengenai sistem pemilu. Hal ini sebenarnya tidak pada tempatnya MK menentukan sistem pemilu legislatif.

Karena, pertama, selain tidak diatur secara eksplisit dalam dalam konstitusi, hal itu pun merupakan ranah pembentuk undang-undang.

Kedua, apabila melihat kejadian sebelumnya saat MK dalam menguji materi, MK menyerahkan keputusannya pada pembentuk undang-undang.

Misalnya saat menentukan model keserentakan pemilu, MK menyerahkan kepada pembentuk undang-undang asalkan pemilihan presiden dan wakil presiden dan DPR tidak dipisahkan.

Begitupun saat menentukan ambang batas pencalonan presiden. MK menyerahkannya pada pembentuk undang-undang. MK memberikan pakem-pakem yang prinsipil.

Yaitu, memperkuat demokrasi, memperkuat kedaulatan rakyat, efektivitas pemerintahan, pemilu yang berintegritas dan pemilih yang cerdas dalam memberikan pilihannya.

Penulis adalah Anggota Bawaslu Kabupaten Ciamis