OPINI, PASUNDANNEWS.COM – Transformasi pembangunan berkelanjutan menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia.
Banyak rintangan untuk mewujudkan Green Economy atau Ekonomi Hijau, karena hambatan yang begitu kompleks.
Salah satunya, Indonesia masih berkutat dengan ekonomi yang ditopang oleh kegiatan eksploitatif terhadap lingkungan dan sumber daya alam.
Hal tersebut dipilih, karena dianggap sebagai jalan tercepat untuk mendapatkan keuntungan dengan ongkos yang terbilang murah.
Indonesia masih sangat bergantung dengan energi bahan bakar fosil (fossil fuel).
Hampir setiap kegiatan produksi harus ditopang oleh sumber daya yang berasal dari fosil, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam.
Ketergantungan pada bahan bakar fosil menjadi salah satu hambatan besar yang membuat transisi menuju ekonomi hijau agaknya hampir mustahil.
Energi terbarukan tidak hanya menguntung secara ekonomi tapi juga selaras dengan target iklim dunia.
Hal tersebut sesuai laporan dari University of Technology Sydney bertajuk Fossil Fuel Exit Strategy: An orderly wind down of coal, oil and gas to meet the Paris Agreement.
Seperti dalam tulisan Delly Ferdian berjudul ‘Menuju Proses Transisi Ekonomi Hijau’, bahwa proses produksi besar-besaran yang ditopang batu bara memiliki dampak buruk terhadap lingkungan, salah satunya pelepasan gas karbondioksida dan banyak gas lainnya.
Sederhananya, karbondioksida dan banyak gas lain tersebut yang lepas ke langit akibat dari pemanfaatan energi kotor akan membentuk selimut atmosfer yang menyebabkan panas matahari yang dulunya dilepas langsung ke luar angkasa, malah terperangkap di bumi.
Alhasil, bumi terserang penyakit yang namanya perubahan iklim atau kini yang dikenal sebagai krisis iklim.
Kebijakan Berkelanjutan untuk Kualitas Udara dan Perubahan Iklim
Menanggapi krisis iklim, terdapat sebuah pandangan dari Megan Melamed dalam tulisan di jurnal Science Direct, dengan judul ‘Sustainable Policy—Key Considerations for Air Quality and Climate Change’.
Menurutnya, kualitas udara dan perubahan iklim terkait erat mulai dari sumber emisi hingga dampaknya terhadap iklim, kesehatan manusia, dan ekosistem, termasuk pertanian.
Namun, dalam kebijakan global perubahan lingkungan dan kebijakan keberlanjutan global, hubungan antara kualitas udara dan perubahan iklim sering kali diabaikan.
Untuk memfasilitasi hubungan antara polusi udara dan perubahan iklim dalam proses kebijakan iklim, ada tiga pertimbangan utama (1) campuran (2) masa pakai, dan (3) manfaat dan pertukaran harus diperhitungkan.
Ketiga pertimbangan utama ini akan membantu para pengambil keputusan untuk memahami bagaimana kebijakan yang diusulkan dapat berdampak emisi polutan udara dan gas rumah kaca serta dampaknya terhadap iklim, kesehatan manusia dan yang dihasilkan terhadap iklim, kesehatan manusia, dan ekosistem.
Sehingga mengurangi konsekuensi yang tidak diinginkan dan kemungkinan menghasilkan manfaat ekonomi dan lingkungan tambahan.
Di sisi lain, ada Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional seperti Koalisi Iklim dan Udara Bersih (CCAC) telah menggunakan strategi tersebut.
Dengan berfokus pada peningkatan kesehatan masyarakat melalui kualitas udara yang lebih baik, yang telah menghasilkan kebijakan konsensus yang menguntungkan bagi isu-isu lingkungan lainnya seperti perubahan iklim dan ketahanan pangan, keamanan pangan.
Jumlah perjanjian nasional, regional, dan global untuk mengatasi perubahan lingkungan dan masalah sustainability cenderung meningkat.
Dalam banyak kasus, perjanjian-perjanjian ini akan menghasilkan perubahan emisi polusi udara dan udara dan Gas Rumah Kaca (GRK) serta dampak-dampak terkait.
Meskipun peningkatan kualitas udara dan mitigasi perubahan iklim mungkin bukan merupakan tujuan utama dari beberapa kebijakan ini.
Dengan kebijakan berkelanjutan yang lebih komprehensif dapat dikembangkan untuk memaksimalkan manfaat bagi kualitas udara dan mitigasi perubahan iklim.
Edukasi dan Peran Aktif Masyarakat Menuju Green Economy
Masih menurut Delly Ferdian, upaya transisi menuju ekonomi hijau perlu peran setiap elemen.
Terdapat dua kunci utama yang harus dijalankan dengan baik. Pertama, edukasi terkait peran aktif masyarakat.
Cara yang paling sederhana menuju ekonomi hijau adalah dengan edukasi ekonomi hijau kemudian peran aktif masyarakat yang dimulai dengan pemanfaatan energi bersih dari diri sendiri.
Misalnya, menanam pohon dan melakukan pola hidup sehat yang ramah lingkungan di lingkungan masing-masing.
Bukan hanya itu, pemanfaatan solar panel di tengah masyarakat juga sangat tepat sebagai awal menuju energi bersih.
Kedua, komitmen hijau pemerintah dan pihak swasta, pemerintah dan pihak swasta mengambil peranan yang paling besar dalam transisi menuju ekonomi hijau.
Pemerintah harus siap dengan regulasi, grand design, serta skema pendanaan untuk mengimplementasikan program-program menuju ekonomi hijau.
Sementara pihak swasta harus menjadi tokoh utama dalam penerapan bisnis berkelanjutan menuju ekonomi hijau.
Kolaborasi adalah jembatan terbaik untuk transisi dari ekonomi konvensional ke ekonomi hijau yang mampu menyeimbangkan antara ekonomi dan lingkungan tanpa harus mengorbankan salah satu di antaranya.
Penulis : Atep Nurahman Walidi (Peserta LK III Badko HMI Jawa Barat)