Firman Hakim, Ketua Forum Magister Ilmu Hukum Universitas Pasundan. (Foto: Istimewa)

Oleh: Firman Hakim (Ketua Forum Magister Ilmu Hukum Universitas Pasundan)

PASUNDANNEWS.COM, – Latar belakang hadirnya Lembaga jaminan fidusia sebagaimana dijelaskan dalam memori penjelasan Undang-undang no. 42 tahun 1999 mengatakan bahwa “Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Dalam rangka memelihara dan meneruskan pembangunan yang berkesinambungan, para pelaku pembangunan baik pemerintah maupun masyarakat, baik perseorangan maupun badan hukum, memerlukan dana yang besar. Seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan, yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperoleh melalui kegiatan pinjam meminjam.

Pada awalnya kegiatan pinjam-meminjam menggunakan Lembaga jaminan Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-undang no. 4 tahun 1996 dimana Undang-undang ini adalah pelaksana dari Pasal 51 Undang-undang no. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Namun, karena dalam prakteknya muncul sebuah perjanjian pinjam-meminjam yang didasarkan atas kepercayaan dan aturan terdahulu dirasa tidak bisa mengcover kebutuhan masyarakat maka, lahirlah undang-undang no. 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia.

Adapun menurut Sri Soedewi Masjhon Sofwan mengatakan bahwa “Latar belakang timbulnya lembaga fidusia, sebagaimana dipaparkan oleh para ahli adalah karena ketentuan undang-undang yang mengatur tentang lembaga pand (gadai) mengandung banyak kekurangan, tidak memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat.

Terminologi

Secara etimologi fidusia berasal kata dari fides dari Bahasa Romawi yang artinya kepercayaan, fidusia juga diambil dari istilah Belanda Fiduciare Eigendom Overdracht (FEO) dan Bahasa Inggris Fiduciary Transfer of Ownership yang berarti penyerahan hak milik berdasarkan kepercayaan.

Berdasarkan hal tersebut, bahwa istilah fidusia mengacu pada penyerahan kepemilikan harta benda atau aset berdasarkan kepercayaan dimana benda yang diserahkan tetap berada di bawah wewenang pemilik asal. Pemberi fidusia percaya bahwa penerima fidusia bersedia mengembalikan hak milik barang yang telah diserahkan setelah hutang pemberi fidusia terlunasi.

Disparitas
Lembaga jaminan yang pada awalnya bertujuan untuk memberikan kepastikan hukum bari para pihak ini pada praktiknya lebih memberikan perlindungan hukum kepada Kreditur (penerima fidusia) sementara itu disisi lain bagi debitur (pemberi fidusia) kepentingan hukumnya cenderung tidak diakomodir. Hal ini Nampak pada Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999. Pasal 15 ayat (1) berbunyi “Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dicantumkan kata-kata “DEMI KEADlLAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Seperti yang kita ketahui Bersama bahwa irah-irah putusan “DEMI KEADILAN BERDASARKAKN KETUHANAN YANG MAHA ESA” adalah irah-irah putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (incracht van gewijde).

Namun, sertifikat Jaminan Fidusia disamakan dengan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Sehingga hal ini dielaborasi selanjutnya oleh ayat 2 pasal tersebut yang mengatakan bahwa “Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Padahal dalam Undang-undang tersebut tidak dijelaskan sama sekali mengenai proses hukum acara eksekusi terhadap objek jaminan fidusia.

Sementara itu kita tahu Bersama, bahwa eksekutorial harus terlebih dahulu dimintakan izin dan ditetapkan oleh putusan pengadilan. Namun, pemegang sertifikat fidusia ini bisa melakukan eksekusi langsung terhadap objek jaminan fidusia tanpa melalui Lembaga peradilan. Ayat 3 dari Pasal tersebut mengatakan bahwa “Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.” Dalam hal ini frasa “cidera janji” menjadi bias karena tidak diketahui kapan dan bagaimana cidera janji itu dilakukan oleh debitur. Satu hal yang pasti, bahwa kreditur dapat menjual objek jaminan fidusia secara semerta-merta dengan alasan cidera janji tersebut tanpa didengar terlebih dahulu alasan dan pembuktian dari debitur.

Oleh sebab itu dari deskripsi diatas ada sebuah disparitas dalam perlindungan kepastian dan keadilan hukum antara Kreditur dan debitur.

Inkonstitusional

Dalam hal ini karena ketentuan atau norma hukum yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (2) dan (3) Undang-undang no. 42 tahun 1999 bertentandan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Sebagaimana menurut asa hukum Lex Superiori derogate lege imperiori dimana aturan hukum yang lebih tinggi bisa mengesampingkan aturan hukum yang lebih rendah. Dengan kata lain hal itu dinyatakakn inkonstitusional atau suatu aturan hukum dikatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

Mengurai Benang Kusut
Tumpang tindihnya norma dan aturan hukum selama ini dalam rung lingkup Lembaga jaminan fidusia selesai dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 18/PUU-XVII/2019. Dengan keluarnya putusan ini maka, segala bentuk praktek eksekusi yang dilakukan oleh kreditur (penerima fidusia) atau pihak lain yang karena kuasa dari kreditur melakukan pemaksaan dan atau ancaman kepada debitur (pemberi fidusia) atas objek jaminan fidusia yang tidak didasarkan pada putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap atau debitur secara sukarela menyerahkan objek jaminan tersebut adalah sebuah kriminalitas dan dinyatakan melawan hukum.

Dengan lahirnya putusan ini juga “cidera janji” yang pada awalnya ditentukan oleh kreditur dan menjadi alasan kreditur untuk melakukan eksekusi tidak bisa dilakukan lagi. Alasan “cidera janji” bisa digunakan apabila hal tersebut dilakukan secara Bersama antara kreditur dan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji, dengan kata lain hal ini pula harus melalui proses peradilan.

Dengan demikian praktek-praktek debt collector yang pada umuunya marak dilakukan menjadi tidak bisa dilakukan lagi demi hukum, apabila debitur tidak secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Oleh sebab itu perlindungan hukum antara kreditur dan debitur dalam jaminan fidusia menjadi seimbang.