gambar: Ilustrasi

Oleh: Feri Johansah 

PASUNDANNEWS.COM – Sore ini saya disambut dengan suara terompet anak-anak perumahan ditempat saya berdiam tepatnya di daerah Antapani. Suara sayup terompet yang nyaring dari jauh seakan menyadarkan saya bahwa hari ini adalah hari terakhir di tahun 2019. Saya mengangap pergantian tahun adalah hal yang wajar apabila disambut dengan sukacita dan penuh kegembiraan. Saya salah satu anak muda yang ikut bergembira dengan kedatangan malam pergantian tahun. Hal awal yang dilakukan anak muda adalah mencari referensi tempat yang dirasa asik untuk berkumpul dan bercanda gurau dengan teman-teman. Namun bagi perantau seperti saya, jauh dari keluarga tidak menyurutkan saya untuk mengisi malam pergantian tahun dengan kegiatan positif bersama teman sekaligus menjadi keluarga bagi saya.

Bagi kalangan anak muda berkumpul dengan sedikit seduhan kopi dan makanan ringan yang dibalut dengan asap berbau daging adalah sesuatu yang menggembirakan. Tidak heran budaya seperti itu sering dilakukan dalam menyambut malam pergantian tahun. Saya cerita sedikit tentang Updatetan status teman-teman dikontak whatsapp.  Kontak whatsapp saya kisaran 250 nomor whatsapp teman-teman. Saya sempat mengomentari status teman-teman yang lagi liburan di pantai dan tempat wisata lain bersama keluarga dan kerabat dekat. Ada juga teman yang menggungga poto meme yang bermakna seakan tidak mendapatkan jatah liburan dari atasan. Bagi saya yang masih bekerja lepas saya merasa beruntung tidak terikat dengan hal yang tidak membebaskan.

Rasanya ketika tidak ada acara di malam pergantian tahun sama halnya hidup dalam penjara. Mungkin kegelisahan itu bukan saya saja yang mengalami. Sebut saja teman dikontak saya bertanya-tanya tentang acara saya. Saya rasa anak muda harus pintar mencari referensi kegiatan di malam pergantian tahun. Saya yakin milenial sudah cerdas hari ini dalam mengisi kegiatan malam pergantian tahun dengan hal-hal yang positif.

Saya menyebut cerita diatas adalah bagian dari budaya yang saya maksud. Kemungkinan milenial mempunyai budaya lain seperti cerita saya adalah suatu hal yang dianggap wajar. Asalkan tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan orang lain.

Selanjutnya begini, milenial itu identik dengan media sosialnya. Saya salah satu yang banyak menghabiskan waktu melihat updatetan teman-teman di medsos.  Unggahan medsos teman-teman gegap gempita dengan berbagai resolusi tahun baru mereka. Ada yang ingin meningkatkan penghasilan, ada yang ingin menambah jumlah tujuan jalan-jalan, ada yang ingin memperbanyak volume buku bacaan, ada pula yang berencana menurunkan sekian kilogram berat badan.

Namun, di balik segala resolusi itu, ada yang terasa janggal, ke mana laporan pertanggungjawaban atas resolusi-resolusi di tahun-tahun sebelumnya? Bukankah semestinya program baru dipancangkan setelah program lama sudah dituntaskan. Mohon maaf saya sedikit mengkritik unggahan orang lain melalui tulisan ini. Saya salah satu orang yang tidak mempunyai resolusi ditahun depan. Tapi bukan berarti kita tidak mempunyai keinginan berubah tiap harinya apalagi tiap tahun.

Tahun hanyalah satu jenis rentang waktu, yang berisi 365 hari berturut-turut. Kita memilih program-program personal maupun kolektif dalam hitungan angka. Pergantian tahun adalah bukan hanya semata-mata karena kebiasaan lingkungan. Itu bukan harga mati, tapi paling penting apa dan bagaimana kita kedepan. Apakah kita tetap sama atau mengalami perubahan.

Saya melihat berita yang baru-baru ini yang menurut saya akan menuntut kita semua akan mengalami resolusi. Misalnya saja begini, milenial mayoritas perokok. Tahun 2020 cukai akan dinaikkan sekitar 23 persen, maka diperkirakan akan menuai harga 35 ribu rupiah keatas. Maka resolusi apa yang harus diambil milneial perokok, berhentikah atau tetap perokok. Belum lagi tarif tol, harga tiket moda transfortasi damri dan lain sebagainya. Hari ini saya mengajak bahwa budaya boleh dipertahankan selagi berisi positif. Namun ada sisi lain yang harus dipahami dalam pergantian tahun ini yakni resolusi tujuan dan gerakan.