Oleh: Samuel, SH
PASUNDANNEWS.COM,- Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum” dalam hal ini segala sesuatu diciptakan tentunya memiliki tujuan tersendiri, begitu juga dengan Hukum.
Tujuan Hukum adalah Kepastian (rechtssicherkeit), Keadilan (gerechtigheit), dan Kemanfaatan (zwechmaerten). Tujuan tersebut berhubungan erat untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil maupun dalam arti materil, sebagai pedoman perilaku Manusia.
Aparat penegakan hukum dalam fungsi dan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang sepatutnya telah memahami maksud dan tujuan rumusan Undang-Undang untuk menjamin kepastian hukum demi terwujudnya ketertiban umum. Dalam praktik penegakkan hukum ke-tiga tujuan hukum tersebut juga perlu dilakukan secara proporsional.
Dalam persepektif tertentu konteks keadilan dapat pula mengabsorbsi bahkan berlawanan dengan kemanfaatan hukum dan atau kepastian hukum, begitupun sebaliknya, oleh sebab itu maka diperlukan keseimbangan nalar dalam menilai tujuan hukum itu sendiri.
Sering kali dalam implementasi tujuan tersebut justru terkesan saling bertentangan dalam pemberlakuannya, para penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, cenderung hanya menyandingkan fakta-fakta hukum terhadap aturan-aturan yang berlaku demi mengedepankan kepastian hukum.
Akibatnya, sering kali tujuan untuk mewujudkan keadilan dalam arti yang sesungguhnya –keadilan materiil– menjadi terabaikan. Banyak kasus telah menunjukkan bahwa penegak hukum sering kali terjebak dalam aturan-aturan hukum semata yang merupakan wujud dari kepastian hukum.
Pada hakikatnya ketika kita berbicara tentang tujuan hukum, hal tersebut tidak terlepas dari sifat hukum dari masing-masing masyarakat yang memiliki karakteristik atau kekhususan karena pengaruh falsafah yang menjelma menjadi ideologi masyarakat atau bangsa yang sekaligus berfungsi sebagai cita hukum.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia adalah salah satu bukti nyata dari tujuan Hukum dalam memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan terhadap masyarakat baik secara individu maupun badan hukum yang di latarbelakangi oleh kepentingan pembangunan di bidang ekonomi, terutama dalam menunjang kegiatan perbankan khususnya dalam hal pembiayaan serta dimaksudkan sebagai sarana menciptakan kepastian hukum jaminan fidusia pada khususnya.
Seperti halnya disebutkan dalam isi Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang fidusia, “Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.” Kemudian dalam pasal 1 ayat (2) menjelaskan tentang jaminan fidusia yang berbunyi “Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditur lainnya”.
Sementara itu, pengertian dari Lembaga Pembiayaan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009, yaitu badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal. Semakin berkembangnya perusahaan pembiayaan saat ini, mengakibatkan pelaksanaan pengikatan jaminan fidusia semakin diperlukan. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi apabila debitur melakukan wanprestasi dan atau perbuatan melawan hukum, kreditor dapat langsung menarik kendaraan tersebut tanpa melalui jalur pengadilan, karena berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Jaminan Fidusia tersebut. Jaminan fidusia baru lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia dan kreditur akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate executie), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Lahirnya lembaga pembiayaan ditengah-tengah masyarakat merupakan salah satu tujuan hukum yakni untuk memberikan kepastian sistem perekonomian masyarakat yang memerlukan pembiayaan ataupun modal dalam bentuk pemberian dana kepada masyarakat (konsumen) guna memberi kemudahan dalam memenuhi kebutuhan perekonomian dalam membeli barang ataupun modal usaha.
Pada pergaulan sehari-hari banyak kepentingan yang beraneka ragam sehingga kita menyadari bahwa kadang kala timbul benturan-benturan antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain seperti halnya dalam upaya manusia memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, salah satunya adalah dalam memenuhi kebutuhan ekonomi. Hadirnya suatu solusi pembiayaan dengan menggunakan sistem kredit, sangat membantu masyarakat ekonomi dalam membeli barang tanpa harus membayar pada saat itu juga. Dengan sistem pembiayaan kredit, seseorang dapat membayar barang sesuai dengan waktu dan kemampuannya, sehingga memudahkan untuk memiliki sesuatu yang diinginkan tanpa perlu memiliki uang tunai seketika dalam jumlah yang relatif besar.
Namun pada prakteknya masih adanya kesenjangan antara das sollen dan das sein. Berdasarkan penjelasan diatas sudah jelas tujuan hukum terhadap para pihak baik itu debitur dan kreditur, tapi kerap terjadi debitur yang tidak taat terhadap perjanjian yang telah disepakati sehingga timbul kredit macet yang berakhir dengan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia, bahkan kerap terjadi kesengajaan yang dilakukan oleh debitur dengan melakukan peralihan juga menjual objek jaminan fidusia tanpa di ketahui oleh pihak kreditur yang dimana dalam hal ini perbuatan tersebut merupakan Ketentuan Pidana seperti yang tertuang dalam ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 tentang fidusia “Setiap orang yang dengan sengaja memalsukan, mengubah, menghilangkan atau dengan cara apapun memberikan keterangan secara menyesatkan, yang jika hal tersebut diketahui oleh salah satu pihak tidak melahirkan perjanjian Jaminan Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan Pasal 36 “Pemberi Fidusia yang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta) rupiah”.
Pada jaman modern saat ini, pengajuan kredit yang merupakan fasilitas layanan perbankan relatif dipermudah, sepanjang calon debitor memenuhi kriteria dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh lembaga pembiayaan maka pengajuan tersebut dengan segera dapat dicairkan. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia salah satunya hadir untuk memberikan kepastian terhadap jaminan yang melekat pada objek yang menjadi dasar dari kesepakatan pembiayaan tersebut.
Banyak masyarakat yang telah merasakan fasilitas pembiayaan tersebut namun banyak juga masyarakat yang belum memahami hak dan kewajiban yang timbul oleh karena adanya kesepakatan/perjanjian antara debitur dan kreditur ketika mengajukan pembiayaan tersebut. Alhasil Lembaga Pembiayaan banyak mengalami kerugian karena terhadap kesepakatan/perjanjian debitur dan kreditur tersebut terjadi wanprestasi, bahkan terhadap objek jaminan fidusia juga tidak dapat dieksekusi untuk mengembalikan hutang-hutangnya. Ini merupakan permasalah hukum yang menyangkut budaya masyarakat dalam berhutang yang menuntut hak-haknya namun menghindari kewajibannya.