BERITA CIAMIS, PASUNDANNEWS.COM – Suluh Muda Democracy And Human Right Research Institute soroti mengapa Polri masih melakukan tindak represif.
Menurut Direktur Eksekutif Suluh Muda, Fahmi G. Priono atau akrab disapa Bung Mio menjelaskan bahwa akhir-akhir ini Polri tengah menjadi sorotan publik.
“Belum usai Tragedi Kanjuruhan, kini Polri kembali menambah daftar panjang kasus penggunaan kekuatan berlebihan atau excessive use of force yang tidak proporsional terhadap demonstran,” katanya kepada PasundanNews.com, Minggu (8/9/2024).
Ia menuturkan, aksi pemukulan dan kekerasan dilakukan oleh sejumlah oknum aparat kepolisian terhadap mahasiswa yang sedang menggelar aksi unjuk rasa mengawal putusan Mahkamah Konstitusi di sejumlah daerah.
Hal tersebut mengundang banyak komentar dari berbagai elemen masyarakat.
“Ada semacam ketidaksiapan dari Polri sebagai institusi professional dalam merancang langkah mitigasi,” ungkapnya.
Menghimpun akurasi informasi intelijen dan adanya dugaan pengabaian Perkapolri No.16 Tahun 2006 dalam hal pengendalian massa, lanjut Bung Mio, sehingga dalam rangka penegakan hukum, Polri justru melakukan tindakan melanggar hukum.
“Saat ini Polri menjadi institusi yang berada di urutan paling atas dalam kasus kekerasan terhadap masyarakat sipil terbanyak,” ujarnya.
Bwrsarkan data yang dihimpun Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), ada sebanyak 645 kekerasan yang melibatkan anggota Polri sejak Juli 2023 hingga Juni 2024.
“Kekerasan tersebut menyebabkan 754 korban luka dan 38 korban tewas. Apabila melihat statistiknya, bukan tidak mungkin tren kekerasan akan terus meningkat,” paparnya.
Sehingga, lanjut Bung Mio, jika tidak segera dilakukan langkah reformasi secara komprehensif dan holistik, kecenderungan praktik kekerasan tersebut lambat laun akan berpotensi mengarah pada pembrangusan terhadap ruang-ruang demokrasi.
Bung Mio Sebut Ada 4 Hal yang Membuat Kultur Kekerasan Mewarnai institusi kepolisan.
Dalam hal ini, jelasnya, Suluh Muda Democracy And Human Right Research Institute menilai, ada 4 hal yang membuat kultur kekerasan masih mewarnai institusi kepolisan.
“Pertama, secara umum model Pendidikan dari kepolisian masih mewajarkan praktik-praktik kekerasan dibawah term diskresi. Diskresi ini lah yang kemudian ditafsirkan sebagai sebuah kebenaran dan pembenaran oleh kepolisian untuk melakukan tindakan diluar kewenangan,” jelasnya.
Ia melanjutkan, bahwa di atas kertas, secara teoritis aturan yang ada di tubuh Polri cukup komprehensif, namun dalam praktiknya aturan tersebut kerap diabaikan atas nama diskresi.
“Sedangkan acuan penggunaan kekuatan dalam tindakan kepolisian sebenarnya terdapat dalam Perkapolri No.1 Tahun 2009, namun dalam praktiknya cenderung diabaikan,” tuturnya.
Kedua, faktor lainnya kultur kekerasan masih ada dalam tubuh Polri ialah, masih adanya relasi kuasa di tubuh institusi Polri.
“Hal ini dapat terlihat dari bagaimana Polisi melakukan tugas pengamanan sebuah ruang kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, kebebasan menyampaikan pendapat,” katanya.
Relasi kekuasaan ini ditunjukan dengan melihat sebuah demonstrasi dan ekspresi dari publik sebagai suatu ancaman bagi kekuasaan.
Bukan sebuah hak dan kesempatan bagi warga negara untuk menyampaikan pendapat dan gagasan di muka publik, sehingga polisi seolah memiliki kewenangan lebih untuk mengambil tindakan tertentu.
“Ketiga, institusi kepolisian masih menggunakan pendekatan keamanan bukan pemolisian sipil,” tuturnya.
Pemolisian sipil adalah konsep yang menitikberatkan pada kolaborasi dan kemitraan antara masyarakat dan kepolisian dalam hal menangani masalah sosial keamanan.
Hal ini merupakan langkah preventif dan humanis untuk mencegah potensi terjadinya tindak kekerasan antara aparat kepolisian dengan masyarakat atau mahasiswa dalam aksi unjuk rasa, contohnya komunikasi aktif antara kepolisian dan tokoh masyarakat atau tokoh mahasiswa.
Sedangkan pendekatan keamanan pada praksisnya seringkali dilakukan dengan menggunakan metode kekerasan karena metode kekerasan merupakan opsi paling murah dan mudah dalam rangka penanganan masalah sosial keamanan.
“Aparat kepolisian di lapangan kerap menerjemahkan perintah “Amankan” dari atasan sebagai legalitas melakukan tindakan represif demi mencapai stabilitas keamanan,” katanya.
Keempat, mekanisme pengawasan internal dan eksternal yang belum maksimal.
Pengawasan Internal kerap dijadikan jalan oleh oknum di tubuh kepolisian untuk memperingan bahkan memberhentikan hukuman bagi oknum anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran.
Sedangkan pengawasan Eksternal sendiri biasanya dilakukan oleh komnas HAM, Ombudsman dan Kompolnas.
“Namun sayangnya, sebagian masyarakat beranggapan bahwa ketiga lembaga tersebut nampaknya dianggap seperti macan ompong dan rentan diintervensi kekuasaan, karena tidak memberikan efek berarti terhadap jalannya proses pengawasan,” tandas Bung Mio.
(Herdi/PasundanNews.com)