OPINI, PASUNDANNEWS.COM – Hari Buruh Dunia jatuh setiap tanggal 1 Mei dan sering diperingati dengan tuntutan hak para buruh.
Sehubungan dengan itu, momen ini perlu mencuplik histori tentang gerakan apa yang dilakukan oleh kaum buruh kala itu.
Jika menilik ke belakang, Hari Buruh tetapkan berdasarkan pada tahun 1889 saat kongres sosialis dunia, di Paris.
Hal ini didasarkan pada peristiwa Haymarket, protes besar-besaran oleh kalangan buruh-buruh Amerika Serikat pada Abad ke-19 yang memakan banyak korban.
Pada masa itu, para buruh haruskan bekerja selama 19-20 jam sehari, dengan upah yang tidak seberapa.
Tentu keadaan sangat merugikan kaum buruh, dan hanya menguntungkan pihak perusahaan.
Sehingga mereka menuntut pengurangan jam kerja dari 19 jam sehari menjadi 8 jam sehari.
Apa yang para buruh inginkan saat itu berhasil terlaksana, jam kerja yang tadinya 19 jam, kini aturan bekerja bagi para buruh dan karyawan lainnya menjadi 8 jam sehari.
Itulah sederet cerita pendek di balik hari buruh yang dilatar belakangi oleh persoalan para pekerja.
Persoalan-persoalan yang para pekerja almai tentu tidak hilang sepenuhnya, masih banyak persoalan-persoalan yang belum terangkat.
Ketidakadilan yang para kaum buruh alami masih ada dan menyempil berbagai titik hingga saat ini.
Seperti undang-undang yang disahkan secara sembunyi-sembunyi oleh para wakil yang ketuanya adalah rakyat.
Undang-undang Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. Sebuah produk hasil dari pengkhianatan yang para wakil rakyat lakukan.
Undang-undang tersebut memuat beberapa poin yang merugikan kaum buruh.
Diantaranya, ketidakpastian kontrak, formula penentuan upah yang tidak jelas dan tidak adanya pembatasan bagi perusahaan outsourching.
Belum lagi terdapat pasal yang mempermudah tenaga asing untuk bekerja di Indonesia.
Buruh dan Mahasiswa, Konteks Subjektifitas Zizek
Karena kapitalisme tidak lagi memproduksi barang yang sifatnya material, melainkan juga sesuatu yang ‘abstrak’.
Mengingat produksi abstrak itu, bisa ditandai dengan pergeseran harga saham di bursa efek.
Artinya, di sini, kerja membutuhkan spesialisasi yang hanya bisa didapat melalui pengetahuan.
Dengan demikian, kampus adalah instrumen penting bagi penciptaan para buruh-spesialis yang siap sedia untuk menjadi bagian dari proses produksi kapitalisme dengan pengetahuan yang ia miliki.
Itulah sebabnya, dalam dokumen Country Assistance Strategy Bank Dunia yang baru, interkoneksi antara ‘perguruan tinggi’ dengan ‘dunia industri’ menjadi capaian yang harus dituju oleh institusi pendidikan tinggi ke depan.
Maka mahasiswa memiliki kaitan subjektifitas dengan buruh. Dengan memulai kesadaran subjek, menurut Slavoj Zizek, bahwa mahasiswa adalah calon buruh di masa depan, dan buruh adalah tenaga kerja saat ini, secara tidak langsung mahasiswa menunjukkan keberpihakan kepada rumpun kelasnya sendiri.
Artinya, agar gerakan tidak parsial dan melulu ada keterpisahan, perlu rekoneksi ulang antara kesadaran mahasiswa dan buruh untuk memperjuangkan keadilan yang telah dirampas kapitalisme.
Penulis adalah Azmi Fikri Amanullah (Presma BEM IAID Ciamis)