HOAX IS CRIME. Penyebaran hoax (kabar atau berita bohong) merupakan tindak pidana. Hal ini secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 28 ayat 1 & Pasal 36 UU No. 11 Tahun 2008 & Pasal 45A ayat 2 UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)
Mengawali 2019, penyelenggaran Pemilu sudah diserang oleh hoax. Tepatnya pada tanggal 2 Januari 2019 telah beredar hoax 7 kontainer surat suara Pilpres 2019 telah tercoblos”. Yang pada akhirnya, pada tanggal 3 Januari 2019, KPU RI mengambil langkah hukum dengan melaporkan kabar bohog tersebut ke Bareskrim Polri dengan tujuan agar proses tahapan Pemilu 2019 berjalan aman dan lancar hingga hari pemungutan suara. Langkah cepat dan responsif tersebut KPU RI patut diapresiasi oleh semua pihak, karena dipastikan isu sesat tersebut tidak faktual atau tidak terbukti.
Sebagai bagian dari praktek politik pasca-kebenaran (post-truth politics), hoax dapat membuat demokrasi menjadi sakit” dan bahkan mengancam proses pamatangan demokrasi (the maturation of democracy) di Indonesia. Oleh karena itu, selama penyelenggaran Pemilu 2019, marilah kita semua perangi hoax.
Hoax tidak sekedar merusak kualitas penyelenggaraan pemilu, tetapi dapat merusak nalar politik publik (public’s political reasoning) yang berdampak negatif pada partisipasi elektoral pemilih. Hoax is brain poison (hoax adalah racun otak), ini kiranya sebuah kalimat yang tepat tentang bahayanya hoax bagi publik.
Francis Fukuyama (2017) menyebut istilah lain dari politik pasca-kebenaran dengan istilah politik pasca-fakta (post-fact politics). Fenomena ini, menurut Fukuyama, berkembang pesat pada tahun tahun 2016 “tepatnya di Pemilu Amerika Serikat Tahun 2016. Di dunia “pasca-fakta” (a post-fact” world), hampir semua sumber informasi otoritatif ditantang oleh fakta-fakta yang bertentangan dengan kualitas dan asal-usul yang meragukan.
Selain kasus hoax surat suara tercoblos tersebut di atas, pada pertengahan Desember 2018, KPU RI pernah diserangkan oleh para hoaxer yang menyebarkan isu yang menyesatkan kepada publik tentang kualitas kotak suara kardus “yang pada akhirnya isu tersebut dapat diluruskan dengan baik oleh KPU RI. Mari kita bersatu melawan para hoaxer pengganggu penyelenggaraan pemilu 2019.
Jika kita tidak mampu memerangi hoax serta ujaran kebencian yang menjadi ciri utama dari politik pasca-kebenaran atau pasca-fakta, politik di negara Indonesia akan terancam mundur satu abad –seperti yang terjadi di Eropa pada awal 1900-an.
Perangi Ideologi Nazisme
Selama Perang Dunia I, Adolf Hitler telah menciptakan dan menggunakan teknik propaganda big lie atau große Lüge (bohong besar). Hal tersebut, Hitler tuangkan dalam bukunya Mein Kampf (1925). Selanjutnya di era Nazi, ada hukum propaganda yang berbunyi Repeat a lie often enough and it becomes the truth” (Ulangi kebohongan cukup sering dan itu menjadi kebenaran) “hukum tersebut diatribusikan pada Joseph Goebbels, Menteri Propaganda Nazi Jerman. Kebohongan yang terus diulang-ulang akan menjadi kebenaran bagi publik.
Di antara psikolog menyebut hukum tersebut sebagai illusion of truth” effect (efek ilusi kebenaran) (Stanfford, 2016). Efek tersebut bisa menjadi senjata yang sangat berbahaya di tangan para propagandis jahat. Jadi dapat dikatakan bahwa hoax dapat diketegorikan sebagai kejahatan kemanusiaan. Mari kita semua perangi praktek politik berbasiskan ideologi Nazisme.
Menurut Fukuyama, di dunia pasca-fakta” “dunia pasca-kebenaran, pertarungan politik partisan datang untuk meliputi setiap aspek kehidupan. Segala sesuatu (everything) telah dicurangi atau dipolitisasi dan dilakukan secara terang-terangan “hal seperti ini pernah terjadi dalam Pemilu Amerika Serikat 2016.
Kualitas partisipasi elektoral pemilih berkontribusi besar dalam menentukan kualitas pemilu. Well-informed voters (pemilih terinformasikan dengan baik) menjadi prasyarat terwujudnya partisipasi elektoral yang berkualitas. Jadi melindungi pemilih dari terpaparnya hoax bersifat imperatif bagi penyelenggara dan para pemangku-kepentingan pemilu (electoral stakeholders) “apalagi UU ITE dengan tegas menyatakan peran Pemerintah dan masyarakat dalam melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik.
Memproteksi pemilih tentunya dapat dilakukan dengan peningkatan literasi informasi “yang tidak semua pemilih miliki.
Literasi Informasi Pemilih
Dengan internet, kini pemilih berada dalam lingkungan yang mengalami banjir informasi (the flood of information). Tidak sekedar mudah diakses, informasi hadir tanpa diinginkan “melalui teknologi media sosial, pemilih sebagai pengguna internet menjadi pembaca informasi kaptif (captive information readers). Bagi mereka yang terkategori aktif “yang ditandai dengan rasionalitas politik yang baik” tidak mudah menerima materi informasi begitu saja. Tetapi sebaliknya, bagi mereka yang pasif tidak sekedar terkena efek kognitif “menerima dan menganggap benar informasi yang diterimanya tanpa sikap kritis, tetapi juga terkena efek konatif dimana mereka berbagi informasi kepada yang lainnya yang terhubung atau mendiseminasikan secara massif (massive blasting) di media sosial, tanpa berpikir efek negatifnya.
Literasi informasi sangat dibutuhkan bagi pemilih yang pasif. Literasi informasi juga merupakan salah satu dari prinsip etis dalam penggunaan media baru atau internet. Istilah literasi informasi pertama kali diperkenalkan oleh Paul Zurkowski pada tahun 1974. Ia menegaskan tentang kini adanya kebutuhan bagi setiap orang untuk menjadi orang yang cerdas atau mengerti informasi (information literate), jika mereka ingin bertahan (survive) dan berkompetisi dalam masyarakat informasi yang berkembang (an emerging information society) (Anunobi & Udem, et al, 2014:66).
Kini Pemilu sedang berlangsung di era masyarakat jaringan (network society) “dimana internet menjadi media utama, masyarakat berkomunikasi dan berbagi informasi. Tentunya literasi informasi semakin dibutuhkan oleh setiap pemilih.
Tentang pentingnya literasi informasi juga ditegaskan oleh ALA (American Library Association) yang menyatakan bahwa literasi informasi kini semakin penting dalam lingkungan perubahan teknologi yang sangat cepat. ALA mendefinisikan literasi informasi sebagai serangkaian kemampuan yang mensyaratkan individu-individu untuk mengenali ketika informasi dibutuhkan dan memiliki kemampuan untuk menempatkan, mengevaluasi, dan menggunakan secara efektif atas informasi yang dibutuhkan (Welsh & Wright, 2010:1).
Istilah lain literasi informasi disebut juga sebagai literasi digital (digital literacy). UNESCO (2018) menjelaskan yaitu digital literacy is the ability to access, manage, understand, integrate, communicate, evaluate and create information safely and appropriately through digital devices and networked technologies for participation in economic and social life. Literasi digital dipahami sebagai kemampuan untuk mengakses, mengelola,memahami, mengintegrasikan, mengkomunikasikan, mengevaluasi, dan menciptakan informasi yang aman dan sesuai melalui piranti digital dan teknologi berjaringan untuk partisipasi dalam kehidupan sosial dan ekonomi (Antonisis, 2018).
Merujuk pada kedua pemahaman definisional tersebut di atas, pemilih harus dapat mengenali sumber informasi atau berita dengan baik, karena informasi atau berita adalah nutrisi kognitif bagi setiap manusia. Tidak hanya itu, informasi juga merupakan energi bagi pemilih dalam berpartisipasi elektoral.
Pemilih harus dapat memastikan setiap informasi berita yang diterimanya merupakan bersumber dari portal berita yang terverifikasi oleh Dewan Pers. Menurut data terpublikasi dalam portal Dewan Pers pada tanggal 11 Maret 2018, dari 43.300 media online (siber) tercatat, baru hanya 65 media online yang terverifikasi memenuhi ketentuan UU Pers. Oleh karena itu, kini sudah saatnya, pemilih membiasakan mengecek apakah portal berita yang menjadi sumber informasi sudah terverifikasi atau belum oleh Dewan Pers. Untuk hal tersebut, pemlih dapat mengecek di link:
https://dewanpers.or.id/data/perusahaanpers. Jika hal tersebut tidak dapat dilakukan, bertanyalah kepada orang-orang yang memiliki literasi media dengan baik.
Selanjutnya, pemilih juga harus memiliki sikap kritis atas informasi. Apabila informasi yang terima di media sosial yang bersumber dari pengirim yang tidak jelas atau tidak terpercaya, sebaiknya pemilih tidak meneruskan dan juga tidak mempercayai isi informasi tersebut, sampai portal berita atau media mainstream terverifikasi memberitakannya. Biasanya jenis informasi ini ditandai dengan priming judul yang sangat sensasional dan diakhiri dengan pesan pamungkas sebarkan ke yang lainnya”. Misalnya, pada bulan Juli dan Agustus 2017 lalu, Polri telah menangkap para petinggi Saracen “sindikat penyedia jasa konten bohong (hoax) dan kebencian berbasiskan SARA media sosial.
Literasi Informasi dan Pemilih Rasional
Literasi informasi dapat mentransformasikan pemilih pasif menjadi pemilih aktif. Biasanya pemilih aktif ditandai dengan penggunaan nalar atau rasionalitasnya dengan baik.
Ada beberapa studi perilaku pemilih rasional terdahulu yang dapat kita kaji kembali. Misalnya pertama, dalam buku The Reasoning Voter: Communication and Persuasion in Presidential Campaigns (1991), seorang pollster dan ilmuwan politik Amerika Samuel Popkin mengemukakan Reasoning Voter Theory (teori pemilih bernalar).
Melalui teori tersebut, Popkin (1991:7) menjelaskan bahwa pemilih sebenarnya melakukan penalaran atas partai, kandidat, dan isu-isu politik. Mereka berpikir tentang siapa kandidat dan apa partai politik yang mereka dukung di Pemilu (stand for elections), karena mereka memikirkan makna dukungan politik (the meaning of political endorsements) dan mereka juga memikirkan tentang apa dan seharusnya dilakukan oleh pemerintah kedepan. Informasi yang diterima dievaluasi oleh pemilih untuk jadi landasan proses pengambilan keputusan di antara kandidat. Mereka melakukan triangulasi atas informasi yang diterimanya dan mengkonfirmasi pendapat mereka atas infromasi tersebut melalui percakapan dengan orang-orang yang mereka percayai.
Bahkan yang kedua, dalam buku The Responsible Electorate, V.O. Key, Jr (1966) dengan ekstrim berpendapat voters are not fools (pemilih tidak bodoh). Pendapat Key tersebut mempertegas tentang Rational Choice Theory (Teori Pilihan Rasional) yang dikemukakan oleh Antony Downs (1957) atas analisisnya tentang perilaku elektoral dan kompetisi partai politik.
Di tengah meningkatnya literasi politik dan informasi pemilih dalam Pemilu 2019, komunikasi politik rasional dapat menjadi strategi efektif dalam berkampanye untuk meraih suara pemilih.
Wujudkan Pemilu Sehat
Deskripsi tersebut di atas menegaskan pada kita semua bahwa informasi dapat dianalogikan seperti pisau bermata dua “dapat berdampak positif dan juga sebaliknya, negatif. Jika kita menginginkan pemilunya sehat, maka kita dorong semua pihak yang terlibat dalam Pemilu harus menjadi information literate (orang yang cerdas atas informasi). Mari kita dorong mereka untuk memiliki kesadaran etis (the ethical consciousness) atas informasi di dunia tanpa penjaga gawang “dunia internet yang bebas tanpa batas.
Oleh karena itu, semua pihak harus terlibat dalam mengkampanyekan urgensi literasi informasi dengan cara mendorong publik agar cerdas dan bijak dalam menggunakan informasi. Mari kita awali dari lingkungan keluarga kita untuk menjadi the family of information literate (keluarga cerdas berinformasi).
Daftar Rujukan:
Admin Media Center Dewan Pers. Publik Perlu Media Terverifikasi. 11 Maret 2018. Link: https://dewanpers.or.id/publikasi/opini_detail/147/Publik_Perlu_Media_Terverifikasi . Diakses pada 4 Januari 2019.
Antoninis, Manos & Montoya, Silvia (2018). A Global Framework to Measure Digital Literacy. March, 19, 2018. Retrieved at link: http://uis.unesco.org/en/blog/global-framework-measure-digital-literacy . Accessed at January 4, 2019.
Anunobi, Chinwe, Dr. & Udem, Obiora Kingsley (2014). Information Literacy Competencies: A Conceptual Analysis. In Journal of Applied Information Science and Technology, 7 (2) (2014), pp. 64 ” 80.
Fukuyama, Francis (2017). The Emergence of a Post Fact World. January 12, 2017. Project Syndicate. Retrieved at link: https://www.project-syndicate.org/onpoint/the-emergence-of-a-post-fact-world-by-francis-fukuyama-2017-01 . Accessed at January 5, 2019
Popkin, Samuel L.(1991). The Reasoning Voter: Communication and Persuasion in Presidential Campaigns, First Edition. Chicago, USA: University of Chicago Press.
Stafford, Tom (2016). How Liars Create the ‘Illusion of Truth’. October 26, 2016. Retrieved at link: http://www.bbc.com/future/story/20161026-how-liars-create-the-illusion-of-truth . Accessed at January 4, 2019.
Welsh, Teresa S. & Wright, Melissa S. (2010). Information Literacy in the Digital Age: An Evidence-Based Approach. Oxford: Chandos Publishing.
Penulis: Dr. Idham Holik
– Anggota KPU Jawa Barat
– Lulusan Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia