Firda Tari Triana, Mahasiswa Universitas Galuh Ciamis, Foto,/Ist.

OPINI, PASUNDANNEWS.COM – Semakin mendekati tahun 2024, perpolitikan Indonesia seperti di negeri dongeng.

Yang mau tak mau rakyat harus menyaksikan kepandaian para elit politik dalam memainkan sandiwara kebohongan.

Sebagai negara demokrasi, pemilu jadikan sebagai syarat dan bukti konkrit agar bisa dikatakan sebagai negara demokrasi.

Berbicara mengenai pemilu, merupakan sebuah pesta demokrasi yang laksanakan setiap lima tahun sekali untuk menentukan siapa yang layak memimpin negara.

Pemilu bukan hanya berbicara terkait pencoblosan, tetapi sebuah agenda sakral dimana rakyat bisa ikut andil dan memiliki ruang kebebasan penuh.

Hal itu dalam mewujudkan kedaulatan dan jadikan sebagai suatu ruang untuk penguatan legitimasi rakyat.

Sistem Politik Demokratis

Menurut Robert A Dahl yang berpendapat bahwa, sebuah sistem politik demokratis, pemerintah tidak bisa lepas dari kontrol dalam hal membuat suatu keputusan dan tidak bisa diabaikan.

Pemerintah dipilih secara adil dan terbuka sesuai dengan sistem dan peraturan yang ada dan juga dalam pemilihan tidak ada paksaan dan pembatasan terhadap hak pilih.

Semua warga negara memiliki hak yang sama untuk dapat memilih dan dipilih sesuai dengan syarat dan ketentuan yang mengaturnya.

Sejalan dengan hal tersebut, maka salah satu kendaraan politik dalam suatu pemilu yaitu adanya partai politik.

Joseph Aldrich (1995), partai politik adalah kelompok yang terorganisir untuk mendapatkan kontrol atas pemerintahan.

Kemudian nama kelompok dengan memenangi pemilihan jabatan-jabatan publik.

Pentingnya Visi dan Gagasan

Dalam konteks ini partai politik ibaratkan sebuah organisasi politik yang berorientasi terhadap perebutan dan mempertahankan posisi pada pemerintahan (mengisi posisi- posisi strategis jabatan public).

Mekanisme Presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dimuat dalam UU Pemilu.

Hanya partai politik atau gabungan partai politik yang meraih suara 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pada pemilu sebelumnya yang dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Akibatnya, siapapun yang ingin maju harus mempunyai tiket dari partai-partai tersebut.

Sementara itu, tidak ada mekanisme internal yang demokratis dalam partai untuk menentukan siapa bakal calon capres dan cawapres.

Selain dari soal pilihan personal yang tentukan berdasarkan elektabilitas calon dengan ukuran popularitas.

Padahal, popularitas kerap dapatkan dari isu-isu populis. Maka, lagi-lagi rakyat disuguhi dengan tontonan jargon dan baliho partai, bukan program kerja dan visi.

Adanya hak pemberian tiket capres semacam ini membuat partai-partai politik bekerja seperti hanya untuk meraih kekuasaan belaka.

Koalisi yang terbentuk pun pada akhirnya bukan lagi berdasarkan pada program kerja, melainkan alasan pragmatis yang hasilkan dari negosiasi calon yang ingin mendapat tiket.

Sandiwara Elit

Hal tersebut tentunya memancing adanya money politik,dimana saat para calon yang ingin mendapatkan tiket harus mengeluarkan biaya besar yang ditanggung oleh pemodal.

Ujungnya para pemodal tersebut meminta balas jasa yang bisa menguntungkan diri dan kelompoknya.

Dalam hal ini kita bisa mengetahui bahwa politik tetaplah milik elit.

Aktor dalam permainannya pun tidak berubah, melainkan hanya pergantian cangkang dan sedikit cara berbeda yang mereka suguhkan.

Maka dari itu diperlukan penguatan regulasi kebijakan yang mengatur tentang jalannya demokrasi di Indonesia.

Selain itu kritikan d bean solusi dari anak muda sangat diperlukan dan harus memasifkan untuk membongkar praktik-praktik kotor yang sering dimainkan oleh elit politik.

Agar hal yang tidak diinginkan tidak lagi terjadi dan perlahan demokrasi Indonesia akan keluar dari lingkaran setan yang selalu menjeratnya setiap menjelang pemilu.

Penulis : Ketua BEM FISIP Universitas Galuh Ciamis, Firda Tari Triani