Opini

Sosiologi Politik Hukum Mulyana W. Kusumah

KIPP Indonesia membuat Twibbon (bingkai poto) untuk menyuarakan gerakan melawan Oligarki. (foto: Istimewa)

Tulisan MWK tersebut dimulai dengan subjudul Hukum dan Hubungan ekonomi, yang menekankan pada empat kondisi produksi dan hukum, daintaranya menyebutkan faktor-fakto, kekuatan-kekuatan produkis, hubungan-hubungan produksi, Bangunan suprastruktur hukum dan plitik, serta bentuk-bentuk kesadaran sosial. Dengan jelas kita dapat melihat bahwa presuposisi hubungan antara hukum dengan sosial ekonomi adalah tesis dengan dasar masyarakat berkelas, yang sepintas merupakan teori yang bebas nilai, nanum kemudian di masa menjelang runtuhnya kekuasaan Orde Baru, kita memahami mengapa penguasa menghubungkan pemikiran MWK dan banyak aktivis lainnya saat itu sebagai kelompok kiri bahkan dituduh menyebarkan paham PKI, walau tentu saja tudingan kejam itu tak pernah terbukti.

Pemikiran dalam tulisan ini dengan mudah kita identifikasi sebagai pemikiran instumentalisme hukum, yakni pemikiran yang mengasumsikan bahwa hukum tak lebih dari instrumen untuk memenuhi keinginan aktor sosial (dan ekonomi) dominan atas keseluruhan bangunan sosial dan hukum. Sehingga konsekwensi dari pandangan ini menyebutkan bahwa hukum adalah instrumen penindasan dalam sebuah hubungan kekuasaan dan produksi yang menindas. Pandangan ini bertentangan dengan pandangan formalisme yang menganggap bahwa hukum sebagai sistem tertutup dan otonom, yang berkembang menurut dinamika internalnya sendiri. Agar hukum tetap mempertahankan otonominya, menurut padangan naif ini, maka hukum harus berfungsi dan  berkembang menurut kekuatan internalnya, terlepas dari kekuatan aktor sosial yang berada di luar hukum.

Analisa dari pemikiran yang dituangkan dalam buku tersebut sudah sangat tajam, karena kecaman terhadap formalisme hukum sudah sangat kuat, bahkan disebutkan bahwa hukum yang hanya mengabdi pada kepentingan kelompok dominan, yang mewujud dalam kekuasaan yang represif merupakan fetisisme hukum, yakni pemujaan berlebihan kepada formalisme hukum, dan menjadikan otonomi hukum sebagai kamuflase yang sempurna atas represi kekuasaan dan feodalisme serta kapitalisme. Pandangan ini masih dapat kita temui bahkan pada saat ini, bagimana ketidak adilan sosial dan ekonomi coba ditutupi dengan menjadikan hukum sebagai hukum formal semata terlepas dari instrumental sosail, yang menghilangkan kesadaran bahwa hukum bisa jadi alat yang mengabdi pada kepentingan kelompok dominan. Maka tidak heran jika kita meihat bahwa kekusaan dan para kroninya mau mebayar berapapun untuk membuat hukum formal yang menguntungkan mereka.

Pandangan yang sangat kuat dari MWK, bahwa perubahan sosial bukan merupakan fungsi dari perubahan hukum, tetapi justru sebaliknya pola-pola produksi dan hubungan produksi dengan apa yang disebut sebagai pertentangan kelas yang akan mengubah bangunan atas hukum dan politik. Dengan demikian maka diyakini bahwa perubahan sosial termasuk dalam politik dan hukum merupakan sesuatu yang terjadi secara alamiah, ketika syarat-syarat objektif dan kesadaran kelas mengubah hubungan produksi. Hubungan tersebut akan terus mengalami perubahan sesuai dengan dialektikan kekuatan-kekuatan produksi, yang pada gilirannya akan menjadikan hukum dan politik sesuai dengan perubahan kekuatan-kekuatan produski di masyarakat.

Pada masa pemikiran ini diajukan, kondisi Indonesia sedang menuju industrialisasi awal dengan optimisme kekuasaan Orde Baru dengan menyebutkan adanya fase tinggal landas, maka pada saat itu juga hadir pemikiran teknokrasi, yang mengasumsikan bahwa masyarakat bisa melakukan perubahan ekonomi secara otonom, terlepas dari praktek kekuasaan represif dan sentralisme kekuasaan yang dilakukan. Bahkan represi tersebut dinilai bisa menjadi bagian dari penguatan perubahan, ketika dengan tangan besi penguasa melakukan pemaksaan tentang arah pembangunan yang dikehendaki, untuk mencapai lepas landas tadi. Pemikiran ini disanggah dengan kenyataan bahwa industrialisasi tak lain merupakan upaya kelompok dominan untuk memisahkan para petani dari alat produskinya yakni aset agraria yang sudah dimiliki sejak awal revolusi pertanian.

 

Halaman  2  3

Page: 1 2 3

Redaksi

Leave a Comment

Recent Posts

Tiga Bulan Menjabat Anggota DPRD, Adang Sudirman Fokus Pengawasan dan Suksesi Pilkada 2024

BERITA PANGANDARAN, PASUNDANNEWS.COM - Sudah tiga bulan menjabat sebagai Anggota DPRD Pangandaran, Andang Sudirman fokus…

7 jam ago

Jumat Berkah, Herman Sutrisno Bagikan Beras kepada Jompo dan Anak Yatim

BERITA BANJAR, PASUNDANNEWS.COM - Mantan Wali Kota Banjar, Herman Sutrisno, kembali menggelar kegiatan sosial bertajuk…

10 jam ago

Bapenda Ciamis Sharing Success Story P2DD di Acara Capacity Building Pemda se-Maluku Utara

BERITA CIAMIS, PASUNDANNEWS.COM - Bapenda (Badan Pendapatan Daerah) Kabupaten Ciamis secara resmi diundang oleh Bank…

20 jam ago

Dani Danial Muhklis Prioritaskan Pemajuan Kebudayaan di Kota Banjar

BERITA BANJAR, PASUNDANNEWS.COM - Calon Wakil Wali Kota Banjar, Dani Danial Muhklis (Kang Danial) menegaskan…

22 jam ago

Polres Banjar Sosialisasikan Program Makan Siang Gratis untuk Anak Sekolah

BERITA BANJAR, PASUNDANNEWS.COM - Polres Banjar kembali menggelar kegiatan pembagian makan siang gratis bergizi kepada…

22 jam ago

Debat Kedua Pilbup Pangandaran, Citra dan Ujang Beradu Gagasan

BERITA PANGANDARAN, PASUNDANNEWS.COM - Debat publik kedua Pilbup (pemilihan Bupati dan Wakil Bupati) Pangandaran digelar…

23 jam ago