Oleh : Wahyudi Rakib Apryarsah
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI

Beberapa Rancangan Undang – Undang (RUU) kontroversial yang disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia yaitu UU SPBP, UU KPK, RUU Pertanahan, RUU KUHP, RUU Permasyarakatan, RUU Pertambangan Minerba, RUU Perkoperasian dan lainnya ditentang oleh banyak pihak seperti elemen mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil karena isi dari RUU tersebut dinilai hanya akan menguntungkan sebagian pihak dan akan memberatkan kehidupan masyarakat secara luas jika RUU tersebut dijadikan payung hukum di Indonesia.

Aksi yang dilakukan oleh mahasiswa seluruh Indonesia terjadi setelah gelora aksi besar-besaran di negara Hongkong terkait penolakan RUU Ekstradisi oleh warga Hongkong.

Mahasiswa seluruh Indonesia yang tergabung dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) melakukan aksi secara serentak untuk memprotes beberapa RUU yang dianggap kontroversial pada tanggal 23 – 24 September 2019 di depan Gedung DPR/MPR RI Jakarta dan di berbagai wilayah lainnya seperti Bandung, Medan, Solo, Bali, Makassar, Kendari dan lainnya. Ribuan bahkan puluhan ribu mahasiswa Indonesia bersatu untuk aksi turun di depan Gedung DPR/MPR dengan menggunakan atribut almamater warna-warni yang mereka kenakan dari berbagai kampus, bendera organisasi atau kampus, spanduk dan poster yang berisi tuntutan aksi.

Samuel Huntington mengatakan bahwa kaum intelektual di perkotaan merupakan bagian yang mendorong perubahan politik yang disebut reformasi. Mahasiswa sebagai Agent of Change (Agen Perubahan) berperan dalam melakukan perubahan kondisi dengan menggunakan ilmu pengetahuan untuk membangun Indonesia sehingga kondisi menjadi lebih baik. Mahasiswa memiliki kemampuan berpikir yang matang dan sistematis, sehingga mahasiswa dapat menjembatani antara rakyat dengan pemerintah.

Kemudian, mahasiswa sebagai Social Control (Generasi Pengontrol Sosial) berperan dalam mengendalikan keadaan sosial di sekitar dan dapat berupaya agar mampu mengkritisi sebagai bentuk kontrol sosial serta memberi solusi jika keadaan sosial bangsa sudah tidak sejalan dengan cita-cita dan tujuan sebuah bangsa, memiliki, dan berkontribusi secara nyata terhadap masyarakat sekitar tentang kondisi dan situasi yang terjadi.

Seperti yang terjadi ketika aksi oleh mahasiswa pada tanggal 24 September 2019 yang bertepatan dengan Hari Tani Nasional 2019, beberapa organisasi massa petani dan organisasi masyarakat sipil lainnya melakukan aksi damai di depan Gedung DPR/MPR dengan tuntutan penundaan pengesahaan UU Sistem Budidaya Pertanian dan Berkelanjutan (SPBP) dan RUU Pertanahan karena isi dari UU SPBP dan RUU Pertanahan dianggap hanya menguntungkan korporasi dan tidak berpihak kepada petani. Di saat yang sama pada tanggal 24 September 2019, DPR mengesahkan UU SPBP dalam Rapat Paripurna DPR yang tentu ditentang oleh massa petani karena akan menjerat para petani. Dalam aksi tersebut, nyatanya seluruh mahasiswa ikut berjuang bersama petani dalam menolak disahkannya UU SPBP oleh DPR. Itu bisa dikatakan menjadi bukti nyata bahwa mahasiswa memerankan diri mereka sebagai Agen Perubahan dan Kontrol Sosial.

Di sisi lain, ini menjadi menarik karena yang beberapa tahun terakhir mahasiswa hampir tidak pernah melakukan aksi turun ke jalan secara serentak dan massif walaupun ada sebuah kejadian seperti adanya kebijakan dari pemerintah yang merugikan rakyat. Aksi protes terakhir yang dilakukan oleh mahasiswa secara serentak di berbagai wilayah adalah ketika kebijakan pemerintah menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada tahun 2017. Ketika aksi yang dilakukan oleh mahasiswa seluruh Indonesia menuntut penolakan atas UU dan RUU tidak terlepas dari konsolidasi mahasiswa dibawah naungan BEM SI dimana mahasiswa sadar akan perannya dalam memperjuangkan kepentingan hajat hidup masyarakat.

Kemudian, faktor lain yang ikut mempengaruhi masyarakat luas terkait isu RUU tersebut adalah dengan memanfaatkan teknologi online media sosial seperti aplikasi Instagram, Whatsapp, Facebook, Youtube dan lainnya. Kampanye yang dilakukan oleh mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil tidak hanya dilakukan di jalanan saja, namun juga dilakukan dengan memanfaatkan media sosial. Dengan adanya aplikasi online tersebut, segala arus informasi dan pemberitaan bisa tersebar sangat cepat ditambah dengan adanya program Algoritma yang ditanamkan pada setiap aplikasi media sosial saat ini.

Aksi Menolak RUU Ekstradisi di Hongkong

Di Hongkong, aksi yang dilakukan oleh warga Pro-Demokrasi menolak RUU Ektradisi karena warga Hongkong khawatir setiap orang akan dikenakan penahanan sewenang-wenang, pengadilan yang tidak adil dan penyiksaan di bawah sistem peradilan Tiongkok, warga Hongkong juga khawatir RUU Ekstradisi akan mengakhiri kebijakan Dua Sistem dalam Satu Negara. Hong Kong merupakan daerah yang sistem administrasinya diserahkan kepada Tiongkok. Namun, Hongkong sudah memiliki paspor sendiri, mata uang sendiri, bendera sendiri, dan secara pertahanan negara diserahkan kepada Tiongkok. Sistem politik yang dianut antara Hongkong dan Tiongkok pun berbeda, Hongkong menerapkan sistem politik Demokrasi Liberal sedangkan Tiongkok masih menganut sistem politik Komunis dengan menggunakan sistem ekonomi liberal.

RUU yang diperkenal oleh Eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, mendapat sambutan oleh 338.000 warga Hongkong Pro Demokrasi yang melakukan aksi protes di sekitan gedung parlemen Hongkong dengan tuntutan membatalkan RUU Ekrtradisi dan menginkan Carrie Lam untuk mundur. Aksi yang terjadi sejak bulan Maret 2019 didominasi oleh mahasiswa dan pelajar Hongkong dengan menggunakan masker putih, pakaian serba hitam dan meggunakan payung untuk menghalau serangan gas air mata dari aparat keamanan.

Aksi di Hongkong untuk penolakan RUU Ekstradisi mendapatkan perhatian yang luar biasa oleh banyak pihak di seluruh penjuru dunia. Media pemberitaan di televisi dan kanal youtube maupun instagram telah menyebarkan informasi dan perkembangan di Hongkong dengan sangat cepat. Dukungan dan apresiasi juga dilontarkan oleh banyak pihak untuk mendukung gerakan warga Hongkong, khususnya peran pemuda dalam memperjuangkan demokrasi di Hongkong karena keberanian untuk melawan rezim yang dianggap tidak benar.

Gerakan para pemuda dalam menentang RUU yang dinamakan Hongkong Fugitive Offenders and Mutual Legal Assistance in Criminal Matters Legislation (Amendment) Bill 2019 berhasil mempengaruhi pemerintah untuk membatalkan RUU Ekstradisi meski awalnya pemerintah hanya ingin menunda pengesahan RUU Ekstradisi. Begitu juga di Indonesia, aksi oleh mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil secara serentak menghasilkan keputusan penundaan pengesahan dan mengkaji ulang isi RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba, dan RUU Pengawasan Obat dan Makanan oleh DPR meski beberapa RUU telah disahkan.

Artikulli paraprakSPI: Pelantikan Jokowi-Amin Merupakan Kemenangan Petani dan Masyarakat Desa
Artikulli tjetërSejumlah Warga Kecewa Bantuan Pengeboran Air Bersih di Batalkan