Bekti B Zaenudin saat memberikan orasi di acara milangkala 46 STAI Tasikmalaya, Sabtu (22/02/2020). (Foto: Istimewa)

Oleh: Bekti B Zaenuddin (Waka 1 STAI Tasikmalaya)

PASUNDANNEWS.COM, – Milangkala adalah kata dalam bahasa Sunda, terdiri dari kosa kata milang (ngitung) dan kala (waktu), milangkala artinya ngitung waktu (menghitung waktu). Pasangan waktu adalah ruang, manusia dan sejarahnya berjalan di atas ruang dan waktu itu. Kehidupan dunia ini dimungkinkan terjadi karena ketersediaan ruang dan waktu. Kehidupan seseorang dan/atau sesuatu berakhir seiring berakhirnya jatah waktu yang dimilikinya (tepatnya waktu yang diberikan Tuhan kepadanya). Waktu adalah manifestasi kehadiran Tuhan sebagai pemilik atau penguasa ruang dan waktu. Berbeda dengan makhluk (yang dicipta), Tuhan atau Kholik (yang mencipta) tidak terikat dalam ruang dan waktu, justru ruang dan waktu itulah yang berada dalam genggaman kekuasaan Tuhan.

Sejak beribu-ribu tahun yang lalu orang Sunda mempunyai kesadaran dan pengetahuan kosmologi mengenai ‘waktu’, kalau sesuatu belum tercapai dikatakannya dengan ‘teu acan waktosna‘ atau ketika dijumpai seseorang meninggal dunia dikatakannya dengan ‘parantos dugi kana waktosna‘. Kajian sosiologi agama di kehidupan masyarakat Sunda sudah lama menemukan koherensi (kepaduan makna) antara kesadaran atas waktu dan kesadaran ke-Tuhan-an. Pemilihan istilah “Milangkala” dalam perayaan Hari Jadi STAI Tasikmalaya ini (23 Pebruari 1974 – 2020) dibangun diatas makna tersebut. Sebagaimana dikatakan Clifford Geertz (1973), menafsir adalah salah satu kerja kebudayaan, menurutnya hakikat kebudayaan bukanlah sains eksperimental untuk mencari hukum kepastian, melainkan sains interpretif (interpretive social sciences) untuk memburu makna (in search of meaning).

Dalam kehidupan masyarakat Sunda dikenal ungkapan ‘Miindung ka waktu – Mibapa ka zaman’. indung artinya ibu dan bapa sama dengan bapak dalam kata Indonesia. Kata Miindung dapat diartikan menjadikan (ia) laksana ibu, demikian pula kata Mibapa dapat diartikan menjadikan (ia) laksana bapak. Sebagai ungkapan, Miindung ka waktu – Mibapa ka zaman mengandung pengertian betapa pentingnya waktu dan zaman yang keduanya diibaratkan sebagai ibu dan bapak. Penyebutannya ‘ibu dan bapak’ bukan ‘bapak dan ibu’, tidak bisa dibalik atau dirubah karena menyangkut intensi makna dan hierarki nilai yang dikandungnya. Ungkapan senada lainnya dalam idiomatika Sunda adalah: indung tunggul rahayu – bapa tangkal darajat (ibu adalah pangkal bagi kesentosaan hidup dan bapak adalah jalan bagi kesejahteraan). Terdapat juga dalam ungkapan indung anu ngandung (ibu yang mengandung kita dalam rahimnya) dan bapa anu ngayuga (bapak yang menanggung-jawabi tumbuh kembang kita). Ibu dan bapak, keduanya penting, ia bagaikan dua sisi dalam satu mata uang yang sama (two side in one coin).

Miindung ka waktu-mibapa ka zaman adalah falsafah Sunda terhadap kesemestaan waktu dan kebermaknaan zaman. Ia mengajak kita untuk senantiasa belajar mengingat dan menghormati hal ihwal yang menjadi perantara serta menyertai atas kehadiran kita, dan disaat yang sama mendorong untuk memikirkan, memperhatikan situasi dan kondisi atas kekinian dan kedisinian kita guna menemukan cakrawala mana yang hendak dituju. Ia juga sebangun dengan ungkapan lama para ‘Ulama’: ‘muhafadhoh alal qodimi sholih wal ahdu al jadid al aslah’ (memelihara/merawat/menjaga hal-hal lama yang baik dan mencari/mengupayakan hal-hal baru yang lebih baik).

Marilah kita mengoptimalkan jatah waktu kita masing-masing untuk sebesar-besarnya kemanfaatan bagi kampus ini. Mumpung masih ada waktu, kata Ebiet Gofar Ade.

Artikulli paraprakMengurai Benang Kusut Lembaga Jaminan Fidusia
Artikulli tjetërHMI: Wakil Bupati Tasik Harus Punya Integritas Serta Anti Korupsi