Foto/Istimewa

Oleh : Rozak Daud (Ketua DPC Serikat Petani Indonesia – Sukabumi)

PASUNDANNEWS.COM, SUKABUMI – Setelah 71 tahun Deklarasi Universal HAM sejak 10 Desember 1948, fakta di lapangan pelanggaran terhadap HAM masih terjadi di mana-mana, termasuk hak asasi petani.

Di sektor agraria masih banyak terjadi penggusuran dan kriminalisasi terhadap petani. Berdasarkan data sepanjang 2019 terdapat 4 titik persoalan agraria yang Hak petani dikebiri Oleh Penguasa Dan Koorporasi, yang tentu saja kesemuanya melanggar hak asasi petani.

Ada beberapa kasus yang menguat di permukaan dan menjadi sorotan publik. Salah satunya adalah kriminalisasi dengan pendekatan hukum terhadap petani oleh PT. Salak Utama Kecamatan Kalapanunggal, Begitu juga dialam Oleh Petani Penggarap Eks HGU PTPN VIII Kantor Administratur Goalpara.

Selain kriminalisasi, telah dikorupsi kesempatan Petani dalam mendapatkan Haknya dalam Rekomendasi Perpanjangan HGU PT. Asabaland Kecamatan Ciracap, sebab seharusnya mengunakan Perpres No 86 Tahun 2018 sebagai dasar untuk memberikan minimal 20% dari luasan kepada petani, Namun Pemerintah Daerah (Dinas Pertanahan Dan Tata Ruang) menggunakan Permen ATR/BPN No 7 Tahun 2017 sebagai dasar untuk mengeluarkan Rekomendasi, Sehingga Hak Petani atas 20% luasan lahan dikebiri Oleh Pemerintah.

Kemudian di Desa Bojongjengkol Kecamatan Jampang Tengah Petani digusur dengan curang dan tidak adil oleh PTPN VIII kantor administratur Cibungur, sebab lahan garapan yang selama ini tidak terurus dan telah dijadikan sumber kehidupan petani setempat digusur untuk penanaman sawit, peristiwa ini sedang terjadi juga di Kecamatan Warungkiara. Penggusuran ini secara tidak langsung telah mendapatkan restu dari Dinas Pertanian, sebab telah merekomendasikan perubahan jenis tanaman dari Karet ke Sawit, yang bertentangan dengan Surat Mentri Dalam Negri Tanggal 24 Juni 2019 yang ditujukan kepada Bupati/Walikota Se-Indonesia, Perihal Pelaksanaan Intruksi Presiden No 8 Tahun 2018 Tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa sawit Serta peningkatan produktivitas Kelapa sawit.

Data-data di atas menunjukkan bahwa perlindungan dan penegakan hak asasi petani sangat rendah. Konflik agraria yang terjadi di Sukabumi semakin mempersulit kehidupan petani, ditambah dengan mangkraknya pelaksanaan reforma agraria. Secara keseluruhan hal ini jelas-jelas bertentangan dengan UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Nomor 19 tahun 2013 yang mengamanatkan perlindungan terhadap petani.

Untuk menegakkan HAM di sektor agraria, untuk menegakkan hak asasi petani, negara harus memberikan perlindungan dan pemenuhan seluruh hak asasi petani. Untuk itu kami Serikat Petani Indonesia (SPI) menuntut pemerintah untuk segera menjalankan reforma agraria sejati, menuntaskan konflik-konflik agraria dengan mendistribusikan tanah kepada petani kecil; dan Lembaga Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) dengan kewenangan yang kuat sebagaimana amanat Perpres No 86 Tahun 2018segera menjalankan mandat UU PA (Undang-Undang Pokok Agraria) No.5 Tahun 1960 dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden.

Sementara itu, di level internasional, upaya pengakuan hak asasi petani mendapat titik cerah. Sebab, Deklarasi Hak Asasi Petani baru saja disahkan oleh Sidang Umum PBB (New York, Amerika Serikat) pada 19 November 2018 lalu. Deklarasi ini sangat bisa digunakan untuk memperkuat kerja-kerja perjuangan menegakkan hak asasi petani dari tingkat nasional sampai tingkat desa, yang selama ini banyak dicederai dan dirampas oleh perusahaan-perusahaan transnasional, ataupun perusahaan negara.

Artikulli paraprakAde Barkah Rampungkan Perbaikan Jalan Sepanjang 300 Km
Artikulli tjetërBanyak Reklame Ilegal, Pemkab Cianjur Kehilangan PAD Miliaran Rupiah